Pemerintah Harus Tunjukkan Komitmen Penyelesaian Pelanggaran HAM


Ketua Setara Institute memaparkan tanggapannya atas Sidang IPT di Den Haag, Belanda (Foto: MP/Yohanes Abi)
MerahPutih Peristiwa - Ketua Setara Institute Hendardi menjelaskan pihaknya menilai pengadilan rakyat internasional atau International People's Tribunal (IPT) atas tragedi kemanusiaan Indonesia tahun 1965 adalah sebuah sandiwara dan bukan suatu peradilan sungguhan yang kemudian menghasilkan kekuatan hukum yang mengikat.
"Kalau saya melihat itu suatu penyelenggaraan sidang dilakukan oleh warga negara dan aktivis hak asasi manusia serta lazim dilakukan di sejumlah negara yang sudah lepas dari cengkraman otoritaritas, seperti Sri Lanka, Filipina, dan sebagainya," ujar Hendardi saat ditemui usai memberikan keterangan pers mengenai Laporan Studi Kualitatif tentang Reshuffle Kabinet II: Kinerja Kabinet Kerja, di Kantor Setara Institute, Jakarta Pusat, Minggu (15/11).
Menurut Hendardi, selama ini mereka belum bisa memproses secara hukum pelaku kejahatan-kejahatan itu. Kemudian mendorong negara untuk melakukan pengadilan itu.
"Cara mendorong itu dengan membuat sandiwara pengadilan semacam ini lazin dilakukan bukan suatu hal yang aneh. Akan tetapi yang membuat anehnya adalah tanggapan para pejabat seperti kebakaran jenggot ini menunjukkan mereka tidak mau melakukan itu, tapi kemudian mereka lakukan sambil sewot," tuturnya.
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah pun diharapkan untuk bisa menyusun langkah yang lebih strategis dalam upaya pengungkapan kebenaran dalam peristiwa pelanggaran HAM berat pada 1965.
"Skema rekonsiliasi yang dirancang Menko Polhukam dan Jaksa Agung, dianggap belum cukup. Pemerintah dapat bergegas menyusun langkah nyata melakukan pengungkapan kebenaran dan pemulihan. Skema rekonsiliasi yang sudah dirancang Menkopolhukam dan Jaksa Agung bukanlah cara menyelesaikan kasus masa lalu, karena tidak ada proses pengungkapan kebenaran," jelasnya.
Untuk itu, mantan aktivis bantuan hukum itu mendesak pemerintah menunjukan komitmennya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu, khususnya pada peristiwa 1965 dan peristiwa yang mengikutinya. Hal ini sesuai dengan mandat konstitusi RI dan skema UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.(abi)
Baca Juga:
- Yapto Soerjosoemarno: Usir dan Cabut Kewarganegaraan Pelapor Pelanggaran HAM Masa Lalu
- FPI: Sidang IPT Bukan Solusi Tuntaskan Pelanggaran HAM 1965
- Sidang IPT Bangun Opini Publik Ada Pelanggaran HAM di Indonesia
- Kontras Catat 13 Pelanggaran HAM dalam Kasus Salim Kancil
- Rentetan Pelanggaran HAM di Indonesia Yang Terabaikan
Bagikan
Berita Terkait
PBB Soroti Potensi Pelanggaran HAM di Indonesia, Kemlu RI: Segera Ditangani sesuai Mekanisme Hukum

Kerusuhan di Indonesia Dikomandoi Sosok Terlatih, SETARA Institute: Dipicu Ketegangan Elite dan Kontestasi Kekuasaan

Soroti Satuan di Tubuh TNI yang Diperbanyak, SETARA Institute: Bentuk Ekspansi Militer ke Ranah Sipil

Pembubaran Rumah Doa di Padang, SETARA Desak Pemerintah Prabowo Berhenti Bersikap Diam

Tersangka Korupsi Minyak Riza Chalid Diduga Bersembunyi di Malaysia, Kejagung Diminta Bertindak

Nilai Kementerian Kebudayaan Tak Berwenang Tulis Ulang Sejarah Indonesia, Setara Institute Khawatir Ada Upaya Memutarbalikkan Fakta

Fadli Zon Wacanakan Proyek Penulisan Ulang Sejarah, Setara Institute: Manipulatif dan Cari Sensasi

Komnas HAM Bakal ke Raja Ampat, Selidiki Dugaan Intimidasi hingga Pelanggaran Tambang Nikel

Proyek Tambang Nikel di Raja Ampat Berpotensi Langgar HAM, Bisa Picu Konflik Horizontal

Kejagung Minta Kantornya Dijaga TNI, Setara Institute: Bertentangan dengan Supremasi Sipil dan Hukum
