DI balik gulungan benang yang bertransformasi menjadi kain tenun, Maria Sanam, warga Desa Nekemunifeto, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui berbagai kesulitan demi melestarikan tradisi tenun ikat warna alam di kampung halaman.
Seperti dilansir dari BCA, pertemuannya dengan kelompok Warna Alam Indonesia (Warlami) berhasil mengembalikan tradisi tenun ikat berwarna alam. Tradisi ini sejatinya berusia tua di daerah sana. Ia mendapat pelatihan dari Warlami pada Agustus 2022.
Baca Juga:

Maria dan komunitas penenun di desanya sudah memproduksi sejumlah tenun berkualitas tinggi. Bahkan harga jual satu tenun ikat berwarna alam dengan motif pahat dapat dijual sekitar Rp3 juta.
Dari 30 pengrajin disana, jumlah tenun ikat yang dapat dihasilkan sekitar 125 kain tenun pertahun. Sehelai kain tenun ikat ini dapat dijual dengan harga sekitar Rp 325 juta. Sebagai penenun, Maria mengatakan dapat membiayai anaknya berkuliah dan menghidupi keluarganya sangat cukup tanpa kekurangan.
“Tenun merupakan salah satu mata pencaharian sa(ya), ini telah membantu sa(ya) untuk membiayai anak sekolah sampai kuliah,” jelas Maria.
Maria sudah dekat dengan tenun ikat sejak di bangku kelas tiga sekolah dasar. Ini ia pelajari dari kedua orang tuanya. Namun hampir sepanjang ia menenun, pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis. Bagi para penenun, benang berwarna sintetis bisa merupakan pilihan yang masuk akal karena mudah diakses, murah, dan cepat. Pewarna diperkenalkan sejak lama oleh VOC. Ini yang kemudian mengubah kebiasaan lama penduduk kala itu, dari pewarna alam ke pewarna sintetis.
Baca Juga:

Sejak masuknya bahan pewarna sintetis penduduk lokal merasa pekerjaan menjadi lebih mudah tak perlu mengerjakan proses panjang untuk mendapatkan warna. Karakteristik pewarna sintetis yang lebih mudah diproses dan cepat dalam pengerjaannya, apalagi harganya lebih murah, membuat pengrajin tenun ikat lebih memilih pewarna sintetis.
Menggunakan benang berwarna alam memang bukan hal yang mudah. Untuk mendapatkan benang berwarna merah saja perlu diminyaki lalu direndam ke sejumlah bahan seperti kemiri, daun dadap, daun widuri, simplokos, dan akar mengkudu.
Kelompok Warlami bekerja sama dengan BCA berusaha menghubungkan kembali tradisi tenun berwarna alam ke komunitas penenun di Desa Nekemunifeto. (dkr)
Baca Juga: