APA yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar Tidore? Sebuah kerajaan di Maluku Utara yang sering disandingkan dengan Ternate dalam pelajaran sejarah di sekolah? Pulau penghasil rempah-rempah yang mendorong orang-orang Eropa berlayar ke Nusantara pada abad ke-17?
Tidak salah kalau kamu berpikir seperti itu. Itulah gambaran umum orang tentang Tidore. Tapi bagaimana kalau sekarang gambaran kita tentang Tidore diisi pula oleh kain tenun khasnya?
Tenun Tidore memang tak begitu kesohor seperti kain tenun Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Toraja, Jepara, Dayak, atau Batak. Apalagi kain tenun ini sempat hilang selama hampir 100 tahun lebih.
Meski begitu, kandungan filosofis dan historis kain tenun Tidore tetap menjadi sesuatu yang penting untuk membentuk identitas dan kebanggaan orang Tidore sekaligus menambah kekayaan khazanah wastra Nusantara. Sehingga kain tenun Tidore tetap punya fungsi sejajar dengan kain tenun daerah lain.
Anita Gathmir, seorang perempuan kelahiran tahun 1975 di Soasio, Tidore, tergerak menggali kembali 'harta karun' yang hilang tersebut. Sejak 2009, dia melacak keberadaan kain tenun Tidore.
Kain, alat tenun, dan pengrajinnya sudah tidak lagi tersua di masyarakat Tidore. Padahal Kesultanan dan masyarakat Tidore masih mempertahankan banyak tradisi dan ritual yang mengharuskan berpakaian adat. Salah satunya pemakaian kain tenun.
"Namun di upacara adat kami, malah pakai kain dari luar," tutur Mama Ita, begitu Anita karib disapa, seperti dikutip Antara (15/10).
Baca juga:
Spot Wisata Menawan di Pulau Tidore, Dijamin Memanjakan Mata

Mama Ita bertanya-tanya, mengapa kain tenun Tidore menghilang dari tanah kelahirannya? Karena itulah dia bekerja keras perlu mengumpulkan berbagai catatan, penelitian, dan bukti-bukti sejarah tentang tenun Tidore. Namun, data yang merujuk langsung kain Tidore cukup minim, bahkan nyaris tidak ada.
"Tidak ada data sama sekali kecuali cerita orang tua kami yang berumur 80 tahun," kata Anita dalam Puta Dino Kayangan.
Secara perlahan, pencarian Mama Ita menemukan titik terang. Dia menemukan sebuah foto hitam putih bertulis "Tidore Halmahera" dari Museum di Leiden Belanda.
Kemudian Mama Ita mulai menemukan kembali alat tenun gedogan sulam yang sudah tua, rapuh, dan tidak terawat yang ada di Kedaton (Istana Sultan) di Tidore.
"Saya dikasih tahu paman, ia cerita dulu pernah lihat alat tenun, tapi sudah ditaruh di langit-langit rumah, artinya tidak terpakai. Saya akhirnya mendapatkan informasi," tuturnya.
Sebagai bagian dari keluarga Kesultanan Tidore, Mama Ita tak kesulitan mengakses sisi dalam Kedaton demi melihat alat tenun maupun motif khas Tidore. Selain alat tenun, dia juga menemukan motif anyaman bambu.
Arkian kejadian itu, seorang nenek bernama Zaenab dari Gurabati, Kecamatan Tidore Selatan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, memberi Mama Ita kain tenun. Pengungkapan keberadaan tenun Tidore pada masa lampau kian terbuka.
Mama Ita mengatakan, masyarakat Gurabati pernah berkegiatan menenun atau membuat kain dengan alat yang sederhana. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para perempuan dewasa. Namun sayangnya, kegiatan menenun tidak diteruskan oleh anak-anaknya.
Dari berbagai penelusuran inilah akhirnya bisa dipastikan bahwa kain tenun Tidore memang ada. "Saya yakin pasti ada kain khas Tidore," ucap Mama Ita.
Mama Ita makin bersemangat menelusuri kain tenun Tidore. Dia mengajak pula kaum muda Tidore (Ngofa Tidore) untuk ikut membantu mencari kain tersebut.
Bantuan penelusuran datang lagi dari Bank Indonesia (BI) cabang Maluku Utara dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Mama Ita dan para pemuda Tidore mendapatkan pendampingan untuk merevitalisasi kain tenun khas Tidore.
Baca juga:
View this post on Instagram
Berbekal dukungan itu, Mama Ita mengirimkan sejumlah pemuda dan pemudi Tidore untuk belajar menenun di Jawa. Dia juga mendatangkan guru Tenun ke Tidore.
Untuk mengukuhkan keterampilan menenun kaum muda Tidore, Mama Ita mendirikan rumah khusus tenun bernama Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Ngofa Tidore pada 14 September 2019.
Puta berarti kain, Dino berarti jahit atau susun, dan Kayangan tinggi. Jika ketiga kata itu digabungkan, artinya jahitan atau susunan kain yang memiliki nilai tinggi.
UMKM bidang tekstil itu kemudian memproduksi kain tenun berdasarkan foto-foto yang terekam di Kesultanan Tidore. Motif anyaman bambu yang sempat ditemukan di Kedaton Kesultanan Tidore kini sudah diproduksi ulang Puta Dino. Motif itu diberi nama Jodati yang berarti ketulusan.
Motif Jodati bermakna masyarakat Tidore yang selalu melakukan sesuatu bersama-sama dan mengesampingkan kepentingan pribadi.
Setidaknya, terdapat 12 motif kain tenun Tidore yang memiliki makna mendalam. Antara lain Marasante yang berarti keberanian dan Barakati (diberkati) yang menggambarkan mahkota yang menghadap ke atas dan ke bawah dan juga gambar empat penjuru mata angin, menceritakan pemimpin yang melindungi seluruh rakyatnya.
Ada pula motif Marimoi yang menceritakan tentang empat kesultanan besar di Maluku: Tidore, Ternate, Bacan, dan Kesultanan Jailolo. Terakhir, motif tua Tobaru yang menyerupai bentuk rantai dan menceritakan masyarakat adat Tidore yang hidup di Halmahera. Rantai merupakan simbol penghubung empat gunung atau Kesultanan.
Kain tenun Tidore yang dibangkitkan kembali oleh Mama Ita dan kaum muda Tidore itu seolah menjadi penghubung antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. "Kain Tenun Tidore unggul dikarenakan memiliki cerita yang kuat tentang revitalisasi dan kekuatan anak-anak muda yang mengangkat kembali sejarah yang hilang," tulis Mama Ita.
Mama Ita berharap kaum muda mampu membangun masa depan Tidore dari daya hidup dan semangat yang diwariskan oleh para leluhur melalui kain tenun Tidore. (dru)
Baca juga: