LELAKI paruh baya berpakaian lusuh berdiri bertumpu pada sebuah tongkat kayu di antara mayat-mayat bergelimpangan. "Beritahu gurumu," kata lelaki buta mengenakan ikat kepala tersebut kepada seorang sengaja disisakan masih bernyawa pada Si Buta Dari Gua Hantu gubahan Ganes TH. "Aku Si Mata Malaikat akan menanti di bawah lembah Jagat Pangeran di sebelah barat desa". Seorang selamat meski penuh luka lari tunggang-langgang pulang menuju perguruan Elang Putih.
Baca juga:
Di depan pintu perguruan Elang Putih, Walang Sangsa, setengah tersengal menceritakan penyebab kematian saudara seperguruan beserta Gandra Lelayang dan anak gadisnya, Marni Dewianti.
Mereka tehenyak, terlebih Barda Mandrawata lantaran selain rekan seperguruannya mati juga calon istri setempo berselang akan dinikahi, Marni.

Murid tertua Elang Putih, Hambali, berusaha membalas namun rubuh bermandi darah. Bahkan, sang mahaguru Paksi Sakti Indrawatara tak bisa menandingi sehingga meregang nyawa di tangan Mata Malaikat.
Si Mata Malaikat akhirnya menguasai desa, mengubah perguruan Elang Putih jadi padepokan Mata Malaikat, selepas Barda ikuti nasihat sang ayah memecahkan jurus membedakan suara sebelum menuntut balas dendam.
Baca juga:
Mata Malaikat bernama lahir Runtah, berarti sampah dalam bahasa Sunda. Lelaki kelahiran 1825, seturut cerita pada Si Buta Dari Gua Hantu Volume I, Mata Malaikat, tersebut telah buta sejak menghirup udara dunia kali pertama. Ayahnya, Kasrip, seorang pembunuh. "Ini semua gara-gara kamu! Kita Jadi kena kutuk. Kamu habis bunuh orang lagi!" kata Rabin memarahi suaminya sebagai sumber malapetaka sehingga putranya menjadi buta.
Sejak kecil Runtah selalu beroleh rundungan sampai tak terhitung berapa kali kena 'tangan' teman sebayanya. "Woi picek! Melek dulu sana! Baru boleh ikutan," umpat teman-temannya disambung tawa melecehkan.

Melihat anaknya jadi bulan-bulanan karena buta, Kasrip turun tangan mengajarinya ilmu silat agar tidak jadi lemah. "Ayo bangun! Kalau kamu lemah. Kamu benar-benar cuma bawa sial! Sampah!" teriak ayahnya. Runtah di kemudian hari berubah jadi Mata Malikat, pengelana pencabut nyawa menggunakan tongkat kayu berujung mata tobak bergantung tiga tengkorak.
"Sebenarnya Mata Malaikat bukan jahat. Tidak terlihat baik-jahat di cerita Si Buta. Mata Malaikat ingin mengirim orang baik ke surga sebab tak pantas tinggal di dunia busuk," kata Goklas Teguh Sujiwo atau akrab disapa Oyasujiwo, Senior Editor Bumilangit Comic, kepada Merahputih.com.
Mata Malaikat, lanjut Oyasujiwo, membunuh Gandra Lelayang, Marni Dewianti, Hambali, dan Paksi Sakti Indrawatara lantaran tak sudi menjumpa orang baik di dunia penuh hinaan bagi orang cacat seperti dirinya.

Meski begitu, aksinya membunuh 'orang baik' justru membuat orang ditinggalkan mendendam, khususnya Barda Mandrawata. "Tujuan lainnya, Mata Malaikat sengaja membuat dendam karena ingin membuat Barda sepertinya," kata Oyasujiwo. Barda beroleh ilmu di gua berpenunggu ular raksasa dari petapa atau Patua, sama seperti Mata Malaikat.
"Mereka satu guru," lanjut komikus peraih Best Character Kosasih Award pada tahun 2007.
Runtah alias Mata Malaikat punya pengikut setelah mendirikan padepokan di desa Eretan, Banten. Selain muridnya, paling tidak ada beberapa pendekar lain berkubu kepadanya melawan Si Buta Dari Gua Hantu, seperti Tri Tunggal Cemeti Alam dan Maung Lugai atau Sapujagat.
Tri Tunggal Cemeti Alam merupakan sebutan tiga pendekar kembar bersenjatakan cemeti dengan bola kecil di ujungnya. Mereka dekat dengan Lugai. Maung Lugai atau Sapujagat, di dalam Volume 3 Sapujagat, tampil sebagai teman kecil Barda dan Marni. Lugai berbalik arah menjadi seteru setelah ada hasrat merebut Marni juga menumpahkan segala kesalahan pada Barda, selain keburu ketahuan usahanya mendaku pembunuh Runtah Si Mata Malaikat. (Far)
Baca juga: