Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Sebut Eksekusi Mati Tak Efektif dan Tak Manusiawi

Adinda NurrizkiAdinda Nurrizki - Sabtu, 28 Februari 2015
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Sebut Eksekusi Mati Tak Efektif dan Tak Manusiawi

Warga Australia terpidana mati dalam kasus penyelundupan 8,2kg heroin Andrew Chan (kiri) berunding dengan penasihan hukumnya Nyoman Sudiantara SH (kanan) (Foto: Antarafoto)

Ukuran:
14
Audio:

MerahPutih Nasional - Pemerintah sedang gencar-gencarnya memberlakukan eksekusi mati bagi bandar narkoba yang jadi terpidana. Begitu juga dengan teroris. Namun eksekusi mati yang diterapkan pemerintah Indonesia ini dianggap tidak efektif dan manusiawi.

Pastor PC. Siswantoko Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengatakan, eksekusi mati tidak akan memberikan efek apa-apa karena mentalitas para penegak hukum yang masih rentan dengan berbagai perdamaian. Menurutnya, kejahatan pada umumnya dan masalah narkoba pada khususnya akan tetap ada dan tidak menurun jika aparat penegak hukum masih belum konsisten dalam menjalankan tugasnya.

"Hukuman mati tidak akan efektif karena pasar narkoba belum digarap oleh pemerintah. Saat ini belum ada upaya yang luar biasa dari pemerintah untuk mempersempit pasar narkoba jika Indonesia saat ini dirasa sedang dalam situasi darurat narkoba," kata Pastor Siswantoko, Sabtu (01/03). (Baca: Mayoritas Warga Australia Sepakat Eksekusi Duo Bali Nine Dilakukan)

Dia mengatakan, eksekusi mati yang selama ini dipandang sebagai hukuman yang meminimalisir penderitaan, tidak semuanya benar. Bahkan eksekusi mati, disamping melanggar HAM, juga sangat tidak manusiawi. Dikatakannya, para terpidana mati untuk dieksekusi harus menunggu sekian tahun. Masa penantian ini merupakan penyiksaan batin luar biasa.

"Kita tidak bisa membayangkan bagaimana bergulat dengan pikiran dan perasaan mereka. Mereka menunggu untuk mati dan tidak bebas. Sebuah siksaan yang luar biasa," pungkas Pastor itu.

Tak sampai di situ, Pastor Siswanto juga menambahkan, bagi terpidana mati yang merasa tidak pantas untuk menerima eksekusi mati, karena salah tangkap atau korban permainan, siksaan dan pergulatan batinnya jauh lebih berat. Mereka merasa sebagai korban dari permainan atau peradilan sesat dan harus menanggung penderitaan yang demikian berat, bahkan harus mati padahal dia tidak pantas untuk menerimanya.

"Saat akan dieksekusi, belum semua terpidana mati mendapat pendampingan rohani cukup," tambah dia. (Baca: Diprotes PBB, RI Pastikan akan Eksekusi 2 Terpidana Mati Kasus Narkotika)

Tidak adanya pendampingan rohani terhadap terpidana mati itu, kata dia, merupakan kegagalan negara untuk memberikan ketenangan batin kepada terpidana mati di saat-saat akhir hidupnya telah memberikan penderitaan lain yang tidak ringan. Kegelisahan dan ketakutan yang mereka alami, kata Pastor itu, tidak ada yang mendengarkan.

Mereka dibiarkan menghadapi maut seorang diri. Saat eksekusi terjadi semua terpidana langsung mati. Dalam beberapa kasus mereka harus meregang nyawa dan mengalami kesakitan sekian menit. Hukuman mati tetap memberikan penderitaan dan penyiksaan kepada para terpidana mati," tutup pastor ini. (hur)

#Eksekusi Mati #Eksekusi Mati Kasus Narkoba
Bagikan
Ditulis Oleh

Adinda Nurrizki

Berita Terkait

Bagikan