Ekonom: Tanpa Devaluasi Yuan, Rupiah Tetap Anjlok


ilustrasi rupiah terhadap dolar AS (Foto Antara)
MerahPutih Keuangan - Ekonom dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, I Kadek Dian Sutrisna menilai bahwa Bank Indonesia tidak perlu mengikuti jejak Vietnam dan Tiongkok yang melakukan devaluasi terhadap mata uangnya. Karena tanpa didevaluasi pun rupiah akan sudah melemah.
"Kalau di Tiongkok itukan overvalue dan diatur mata uangnya harusnya dia menguat. Tetapi karena dia tidak mau menguat makanya dilemahkan. Kalau di Indonesia kan memang sudah undervalue, jadi tidak perlu lagi kita melemahkan nilai mata uang kita," tuturnya ketika di temui merahputih.com, di Kantornya, Jakarta Pusat, Senin, (24/8).
Bank Sentral Vietnam memutuskan untuk melakukan devaluasi mata uangnya sebesar 1% pada Rabu (19/8) silam. Devaluasi yang dilakukan oleh Vietnam merupakan reaksi susulan setelah negeri Tirai Bambu terlebih dahulu melakukan devaluasi yuan. Dimana, Vietnam tidak mau produk-produk ekspornya kalah bersaing dengan produk Tiongkok yang harganya jauh lebih murah.
Namun, bagi Indonesia yang ekspornya didominasi oleh produk komoditas. Tentu pelemahan nilai mata uang tidak perlu dilakukan. Karena tidak akan memberikan dampak apapun. Terlebih harga komoditas ekspor kini terus mengalami penurunan.
"Kalau kita kan memang kebetulan ekspornya dominan komoditas dan mineral. Nah sementara sekarang ini harga komoditas turun. Sehingga, pelemahan rupiah ini tidak bisa dimanfaatkan," sambungnya.
Sementara itu lanjut Kadek, devaluasi rupiah yang dilakukan sebanyak 7 kali pada era Soeharto tidak dapat disamakan dan dilakukan pada masa pemerintahan saat ini. Karena, devaluasi yang dilakukan di era Soeharto silam, membuat para pengusaha di daerah penghasil barang komoditi makmur jaya. Pasalnya, harga komoditas saat itu tengah mengalami kenaikan.
"Kalau tahun 1998 kan memang melemah rupiah, tetapi daerah-daerah penghasil mineral dan komoditas ekspor lainnya menerima manfaatnya sebab dengan melemahnya impor akan meningkatkan devisa dan lebih kompetitif dan harga juga komoditas waktu itu lagi tinggi. Sementara saat inikan harga komoditas itu lagi rendah, jadi sama saja revenue dari ekspor kali ini tidak akan berpengaruh," pungkasnya.
Selain itu, nilai impor yang mengalami penurunan hingga 22,36% atau US$ 10,08 Miliar pada Juli lalu pun semakin mendukung BI untuk tidak melakukan devaluasi terhadap nilai mata uang rupiah.
"Impornya menurun lebih tajam. Artinya memang tidak perlu seperti di Vietnam, ikut mendevaluasi," pungkasnya.(rfd)
Baca Juga:
Devaluasi Yuan Perkuat Anjloknya Rupiah
Rupiah Jeblok, Ini Doa Yusril Ihza Mahendra untuk Jokowi
BI Tidak akan Devaluasi Rupiah
Mirip Nomor Telepon Restoran Cepat Saji, Kurs Rupiah Ditutup Rp14.050 per Dollar AS
Bagikan
Berita Terkait
DPR Puji Langkah Taktis BI Hingga Rupiah Kokoh di Level Rp16.700, Pasar Keuangan Aman Terkendali

Dolar AS Tersungkur, Rupiah Terbang Tinggi Berkat Keputusan Kontroversial Trump!

Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Melemah Tembus Rp16.849

Rupiah Melemah pada Penutupan Perdagangan Selasa (25/3), Proteksionisme Global dan Sentimen Domestik Dianggap Jadi Biang Kerok

BI Koordinasi Dengan Google Sesuaikan Info Nilai Tukar, Posisi Bukan Rp 8.170,65 Per Dolar

Ancaman Trump ke Kanada dan Meksiko Diprediksi Bikin Rupiah Melemah Terhadap Dolar AS

Rupiah Diperkirakan Bakal Menguat pada Selasa (10/12)

Senin (18/11), Nilai Tukar Rupiah Menguat 0,35 Persen

Rupiah Menguat 136 Poin Pada Jumat (20/9)

The Fed Pangkas Suku Bunga, Rupiah Turun 8 Poin
