Thomas Matulessia, Mengapa Jadi Kontroversi?

Hendaru Tri HanggoroHendaru Tri Hanggoro - Kamis, 07 Juli 2022
Thomas Matulessia, Mengapa Jadi Kontroversi?
Pattimura sudah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional sejak 1973. (wikipedia.org)

KAPITAN Pattimura. Nama ini pasti kalian pernah dengar waktu di sekolah dulu ketika kelas sejarah. Dia adalah pahlawan nasional dari kampung Haria, Saparua, yang sekarang masuk wilayah Maluku Tengah.

Baru-baru ini, nama Kapitan Pattimura jadi bahan omongan warganet. Gara-garanya, agamanya diperdebatkan lewat sebuah ceramah agama. Padahal Pattimura sudah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional sejak 1973. Artinya soal apa agamanya mestinya tak relevan lagi, dong.

Yang terpenting adalah apa yang dilakukan Kapitan Pattimura dan bagaimana itu bisa menginspirasi tindakan generasi hari ini. Inilah yang sering diabaikan.

Kapitan Pattimura sebenarnya nama gelar yang diperoleh setelah dia menggelorakan perlawanan atas kesewenangan pemerintah kolonial Belanda di Honimoa, Nusalaut, Haruku, Ambon, Seram, dan lain-lain pada 15 Mei 1817.

Baca juga:

Warga Negeri Wakal Maluku Tengah Merayakan Lebaran Hari Ini

pattimura
Thomas adalah anak dari keluarga biasa seperti ribuan anak-anak Haria lainnya. (Unsplash/Candy Hartawan)

Nama asli Kapitan Pattimura adalah Thomas Matulessia. Menurut Io Nanulaita, penulis buku Kapitan Pattimura, Thomas lahir pada 1783 dari pasangan Frans Matulessia dan Fransina Silahoi.

Thomas adalah anak dari keluarga biasa seperti ribuan anak-anak Haria lainnya. Mereka ikut menderita tersebab pendudukan orang-orang Belanda di Maluku.

"Semasa kecil, dia melihat orang-orang sekampungnya, termasuk ayah, paman, dan saudara-saudaranya, dipaksakan untuk kerja rodi," terang Nanulaity.

Belanda mengeruk kekayaan sumber daya alam Maluku, terutama rempah-rempah yang laku di pasaran dunia ketika itu, secara besar-besaran dan mengeksploitasi tenaga kerja manusianya. Semua dilakukan demi memonopoli perdagangan rempah dari Maluku. Mereka juga menghukum warga yang melalaikan kerja rodi dengan hukuman badan.

"Yang berani melawan dirantai dan dimasukkan ke dalam kamar gelap di dalam benteng Duurstede," lanjut Nanulaity.

Thomas sendiri pernah merasakan pahitnya kerja rodi. Dia juga melihat raja-raja diharuskan menyerahkan kayu, kapur, dan bahan-bahan berharga lainnya kepada penguasa VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) setempat. Pergantian pemerintahan dari Belanda ke Inggris sempat menimbulkan harapan. Berbeda dari Belanda, Inggris menghapuskan kerja rodi dan membuka perdagangan bebas.

Thomas bahkan bergabung menjadi tentara Inggris. Alasannya, tentara rakyat yang dibentuk untuk menjaga wilayah Inggris dari pihak luar, secara tidak langsung turut rakyat Maluku

Thomas menunjukkan keterampilan yang mumpuni selama pelatihan. Kariernya cukup moncer. Selama tujuh tahun di militer Inggris, Thomas berhasil memperoleh pangkat sersan mayor.

Baca juga:

"Waktu Hujan Sore-Sore" Lagu Gembira dari Maluku

thomas matulessia
Pada Desember 1817, ribuan pasukan Belanda mendatangi Saparua. (Unsplash/Jody A Khomaro)

Perubahan politik di Eropa pada 1810-an membuat Belanda kembali menduduki Maluku. Karier Thomas pun berakhir. Dan rakyat Maluku kembali mengalami masa-masa sulit.

"Akan tetapi pemerintahan yang agak liberal itu tiba-tiba berakhir dengan kembalinya kekuasaan Belanda atas Maluku pada tanggal 25 Maret 1817," sebut John A. Pattikayhatu dkk dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku.

Pemerintah kolonial Belanda menerapkan kembali kebijakan seperti pada masa VOC. Ini memacu semangat perlawanan dari rakyat. Semangat itu dicetuskan lewat Proklamasi Haria yang disusun oleh Thomas Matulessia.

Thomas mengajukan proklamasi ini di hadapan 21 raja dan patih Saparua dan Nusa Laut. Proklamasi ini memuat 14 keberatan rakyat atas kekejaman Belanda. Proklamasi ini menjadi landasan berperang melawan Belanda pada 15 Mei 1817.

Perlawanan Thomas dan rakyatnya tak berlangsung lama. Pada Desember 1817, ribuan pasukan Belanda mendatangi Saparua. Hari Minggu itu para anggota perlawanan sedang beribadah. Namun, Kapten Lisnet, pemimpin pasukan Belanda, tak peduli soal itu.

Serangan tetap dilakukan. Korban berjatuhan dan Thomas Matulessia tertangkap. Dia kemudian dihukum mati. Sebelum gugur, Thomas Matulessia menulis surat untuk pemuka masyarakat di Seram. Isinya tentang seruan hidup damai dalam naungan gereja, pentingnya bersekolah, dan hukuman bagi yang tidak bersekolah. (dru)

Baca juga:

Mengenal Tradisi Pukul Sapu di Maluku

#Pahlawan #Ambon #Maluku
Bagikan
Bagikan