KASUS perundungan tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Psikolog klinis anak dan keluarga Putu Andini mengatakan anak yang melakukan tindakan perundungan di sekolah biasanya berkaitan dengan kurangnya perhatian dari orangtua.
"Semua kasus perundungan yang tampak di luar, di dalam ada kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi. Anak-anak yang jadi korban maupun pelaku terlihat ada masalah di luar, ada emotional needs yang tidak terpenuhi," ucapnya dalam gelar wicara, seperti dilansir ANTARA.
Kebutuhan emosional yang dimaksud ialah jika anak tidak mendapatkan perhatian dari lingkungan terdekatnya, termasuk orangtua, dan menemukan cara melampiaskan perasaanya di media sosial. Ia mengatakan perundungan daring yang marak saat ini disebabkan dunia digital mengubah 'medan permainan' perundungan yang dulu langsung secara fisik, sekarang dipermudah dengan akses yang mampu dijangkau anak-anak.
Baca juga:

Putu yang juga lulusan Universitas Udayana Bali ini mengatakan, keterlibatan anak dalam perilaku perundungan online bisa dipicu karena orang tua yang kurang terlibat dalam mengawasi anak mereka secara daring.
"Jika dibiarkan, dampak perundungan online bisa memengaruhi anak hingga usia dewasa, baik bagi pelaku maupun korban," ucapnya.
Putu menambahkan, pengaruh dari perundungan daring ini sangat besar efeknya tergantung dari intensitas perilaku yang didapatkan. Dari perilaku perundungan daring, anak bisa mempersepsikan dirinya sebagai korban yang selalu salah dan bisa memengaruhi pembentukan karakter pribadinya kelak.
Baca juga:
Pentingnya Peran Platform Online Khusus Pengaduan Bullying Pelajar

"Kalau bully diterima terus ia akan melihat dirinya negatif terus, merasa dia tidak bisa, tidak mampu, menarik diri dari sekolah dan paling parah kalau tidak dapat support bisa bunuh diri atau melukai diri sendiri," ucap Putu.
Persepsi ini tidak hanya terbentuk dari satu kejadian perundungan online yang dialami, namun bisa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pemberitaan yang tidak ramah anak. Putu mengatakan, orang tua harus beradaptasi dengan dunia digital.
"Harapannya ketika edukasi diberikan, promosikan hubungan yang sehat antara orang tua dan anak agar kebutuhan emosi terpenuhi, kalau merasa terabaikan, kurang didengar, kurang waktu dengan orang tua anak akan merasa kosong dan akan melampiaskan ke hal yang salah," tutup Putu. (and)
Baca Juga:
Kisah Inspiratif Survivor Kasus 01 COVID-19 Sita Tyasutami Menghadapi Perundungan