GERBANG bergaya neoklasik dengan empat pilar besar berdiri di halaman belakang Museum Kesejarahan Jakarta. Di atas gerbang terpampang tulisan "Jejak Memori". Agak menjorok dari gerbang, tergantung cermin besar.
Masuk lebih dalam, lampu kristal dengan aksen emas bergantung di sebuah ruang. Dua meja bundar berlapis kain putih, kursi-kursi berukiran indah, dan perangkat makan tertata apik. Semua dibuat serba klasik sekaligus mewah.
Inilah tata ruang Pameran Jejak Memori Rijsttafel : Cita Rasa Indonesia dalam Memori yang diselenggarakan oleh Museum Kesejarahan Jakarta bekerja sama dengan Kunstkring Paleis. Tata ruang dibuat sedemikian rupa untuk menghadirkan kembali suasana Rijsttafel.
Rijsttafel adalah budaya makan yang lahir dari etiket makan Barat dengan menu Nusantara yang muncul dan berkembang di Hindia Belanda pada abad ke-19. "Rijsttafel mewakili satu masa berkembangnya budaya menyajikan makanan dan seni adiboga di Indonesia," kata Noor Fatia Lastika Sari, kurator pameran dalam pembukaan pameran (12/10) di Museum Kesejarahan Jakarta.
Pameran ini berupaya merangkum sejarah Rijsttafel di Indonesia. "Pameran ini kami persembahkan untuk masyarakat, agar lebih mengenal sejarah perkembangan kuliner, khususnya budaya menyajikan makanan Rijsttafel yang berkembang pada akhir abad Ke-19 sampai awal abad ke-20," kata Estu Utami, Kepala Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta.
Baca juga:
Menilik Pameran 'Jejak Memori Moda Transportasi Jakarta: MRT Jakarta'

Rangkuman kemunculan dan perkembangan Rijsttafel tersaji dalam panel-panel atraktif dan wahana interaktif dalam pameran. Dengan begitu, pengunjung dapat merasakan dan membayangkan kembali seperti apa Rijsttafel.
Kemunculan Rijsttafel tidak dapat dipisahkan dari kehadiran bangsa Belanda di Indonesia dan peran para perempuan dalam memperkenalkan masakan Nusantara. Orang-orang Belanda datang ke Nusantara pada abad ke-16. Kebanyakan lelaki dan tak membawa istri.
Perempuan Belanda pun hanya sedikit yang dibolehkan berlayar ke Nusantara. Selama hampir dua abad, orang Belanda mengawini perempuan tempatan. Dari situ, muncul pula perkawinan budaya yang disebut Kebudayaan Indis.
Salah satu bentuk Kebudayaan Indis adalah Rijsttafel. Orang-orang Belanda belajar mengonsumsi makanan Nusantara dalam waktu lama. Kebiasaan itu dibantu oleh para perempuan tempatan yang menjadi istri mereka. Para istri ini pula yang memodifikasi sejumlah menu makanan Nusantara dengan menambahkan bahan-bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang Eropa.
Meski menu makanan Rijsttafel berangkat dari bahan-bahan makanan Nusantara, cara makannya berbeda dari cara makan kebanyakan orang-orang tempatan. Saat itu, orang-orang Belanda berupaya mengukuhkan dominasi kekuasaannya pada orang tempatan dengan berbagai cara. Dari stratifikasi sosial sampai etiket makan.
Orang Belanda menginginkan cara makan yang berbeda dari orang tempatan. Mereka mengadopsi etiket makan yang berkembang sejak masa Renaisans abad ke-16. Makanan pun dibagi dalam beberapa tahap: pembuka, utama, dan penutup. Semua disajikan di atas meja dan disantap menggunakan piring, sendok, garpu, dan pisau berbahan perak.
"Cara untuk menciptakan haute cuisine (seni adiboga-Red.) ala Eropa di wilayah tempatan," tambah Noor Fatia.
Bandingkan dengan budaya makan orang tempatan. Mereka makan di lantai, tanpa meja, dan disebut lesehan. Makanan pun dihidangkan di atas alas kayu atau daun. Cara menyantapnya menggunakan tangan langsung. Sekepal demi sekepal.
Baca juga:
Berkeliling Sembari Membaca Sejarah Jakarta dari Sudut Utara

Bagi orang Belanda, cara makan orang tempatan tidak sopan dan jauh dari beradab. Karena itulah mereka membuat cara makan yang berbeda. Meskipun makanan yang disantap pada dasarnya mirip.
Untuk mengukuhkan dominasi kekuasaan dan status sosialnya, orang Belanda menghadirkan makanan yang mereka santap dengan bantuan pelayan-pelayan dari orang tempatan. Mereka disebut jongos. Jumlahnya belasan sampai puluhan tiap kali gelaran Rijsttafel. Mereka inilah yang bertugas membawakan makanan secara bergantian ke meja orang-orang Belanda.
Meski Rijsttafel bermula dari keinginan menegaskan kolonialisme, beberapa unsur Rijsttafel kemudian diserap sebagai bagian dari kebudayaan makan baru orang Indonesia. Misalnya makan di atas meja menggunakan piring, sendok, garpu, dan pisau. Menu makanan Nusantara pun jadi lebih beragam, hasil percampuran bahan-bahan Eropa dan Nusantara.
"Pertemuan dua dunia, yang digambarkan literatur Barat seperti bumi dan langit jauhnya, nyatanya menghasilkan suatu akulturasi yang menciptakan praktek baru yang menjadi salah satu kekhasan dari berkehidupan dan berwisata di Hindia Belanda," terang Noor Fatia.
Sekarang penyajian makanan dengan cara Rijsttafel tak lagi sepopuler dahulu. Hanya segelintir restoran yang masih menyajikan cara Rijsttafel. Salah satunya Kunstkring di Gondangdia, Jakarta.
Pameran ini berlangsung dari 12-21 Oktober 2022 di Museum Kesejarahan Jakarta, Kota Tua, Jakarta. Selain pameran, juga akan ada seminar bertajuk "Rijsttafel: Satu Meja Banyak Rasa" pada 13 Oktober dan "Kebudayaan Indis: Perkawinan Dua Dunia, Pencarian Haute Cuisine di Hindia Belanda, Hingga Geef Mij Maar Nasi Goreng" pada 19 Oktober.
Kamu tak perlu membeli tiket masuk untuk menikmati pameran ini. Tapi bila ingin sekalian menikmati koleksi Museum Kesejarahan Jakarta, kamu bisa membeli tiket masuk museum on the spot. (dru)
Baca juga:
Kilas Balik Perjalanan Kebaya di Indonesia di Pameran 'Kebaja Saja'