Berkeliling Sembari Membaca Sejarah Jakarta dari Sudut Utara
PAGI baru saja meninggalkan sejuk, sekitar pukul 09.00 WIB tampak sejumlah orang berbaju merah berkumpul di ujung pandang. Nama tempatnya, Pasar Ular. Lokasinya di pertigaan Jalan Plumpang Semper, Jakarta Utara.
Pasar Ular bukan sembarangan nama. Ira Lathief, salah seorang dari rombongan tersebut menyempatkan waktu bercerita tentang tempat berkumpul itu. Ia menjelaskan asal usul penamaan pasar tersebut dengan dua versi.
"Ada yang bilang tempat awal bentuknya rawa-rawa dan banyak ular. Ada juga yang bilang dinamai begitu karena istilah barang-barang yang dijual dulu barang selundupan, jadi harus licin kayak ular," ujarnya seperti dilansir Antara.
Ira sendiri merupakan pelaksana tur Wisata Kreatif Jakarta yang kali ini menjelajah wilayah di ujung utara kota DKI Jakarta, Tanjung Priok. Wisata kali ini bertemakan Food Tour Free York - Tg Priok.
"Wisata ini adalah tur berjalan kaki kombinasi naik angkot dengan jarak sekitar 3 km dan banyak berhenti di spot bersejarah dan kuliner," jelasnya.
Dimulai dari Pasar Ular Plumpang, wisata kemudian dilanjutkan ke Pasar Ular Permai, selanjutnya menuju salah satu stasiun Kereta Api peninggalan kolonial Stasiun Tanjung Priok, lalu menjelajah Kampung Warteg Enim.
Tak samapai di situ saja, kegiatan Wisata Kreatif Jakarta kemudian berlanjut ke masjid dan gereja bersebelahan yang berbagi tembok yaitu Masjid Al Muqarrabien dan Gereja Mahanaim, lalu ke Museum Maritim, dan selanjutnya ditutup dengan Makam Mbah Priok.
1. Pasar Ular
Rombongan yang telah sepakat berbaju merah itu diajak memasuki lorong Pasar Ular Plumpang yang sempit dan berkelok, mirip ular. Meski begitu, lingkungan terbilang bersih, sehingga cukup nyaman untuk berjalan-jalan.
Barang-barang yang ditawarkan kebanyakan pakaian, di antaranya celana jeans, dan ada beberapa toko yang menawarkan sepatu.
"Awal mulanya Paul (sebutan untuk Pasar Ular) adalah pasar kaget, barang blackmarket dijual harga lebih murah, barang seperti sepatu bermerek yang dulu di mall enggak ada," ujar Ira.
Namun, seiring berjalannya waktu karena telah banyak orang tahu, tak ada lagi barang selundupan yang dijual, hanya saja barang ditawarkan dengan harga miring. "Karena langsung turun dari kapal, bukan di mall," katanya.
Sejumlah pedagang yang ditemui mengaku telah berjualan di pasar tersebut selama 10, 15, bahkan ada yang 20 tahun.
Kebetulan, Pasar Ular yang menjadi titik temu itu adalah Pasar Ular yang baru, sementara Pasar Ular lama atau Pasar Ular Permai menurut Ira hanya menjual keramik dan kristal.
Dengan Metromini, rombongan kemudian menuju Pasar Ular Permai, dan benar saja toko yang berjualan sebagian besar menawarkan keramik dan kristal.
"Saya generasi kedua. Dulu orang tua belanja kramik langsung dari pelabuhan," ujar Hendra pemilik toko keramik Hendra yang berada tepat di tepi Jalan Yos Sudarso.
Dia mengungkapkan bahwa keramik biasanya datang dari China, sementara kristal diimpor dari Eropa. Pembeli yang datang kebanyakan dari Palu dan Manado untuk dijual kembali nantinya.
Tidak hanya keramik lama, keramik baru juga ditawarkan di sana. Satu paket poci berserta enam cangkir dihargai Rp180 ribu, misalnya.