‘Jancuk’, Ketika Umpatan jadi Panggilan Akrab di Negeri Aing


Jancuk merupakan panggilan keakraban. (Foto: Unsplash /Matheus Ferrero)
“Woi jancuk, sik urip koen” (Woi jancuk, kamu ternyata masih hidup).Ya, begitulah kira-kira sapaan keakraban sekaligus budaya bahasa yang sering digunakan sehari-hari. Berbicara bahasa Jawa, tentu semua orang sudah tidak asing lagi dengan kata jancuk. Penggunaan kata jancuk sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi, umpatan atau panggilan akrab.
Indonesia memang kaya akan bahasa, mulai dari yang sudah diterapkan zaman dulu sampai bahasa modern sekarang, seperti anjay, kuy, gas, dan sabi. Jancuk memang diibaratkan selayaknya dua insan yang selau bersatu. Meski tergolong kata kasar dan sering dijadikan umpatan, ternyata jancuk juga bisa digunakan untuk menunjukkan kedekatan bagi beberapa orang. Seperti ungkapan, "Piye cuk kabarmu?"
Baca juga:
Deretan Tempat Wisata Negeri Aing yang 'Bisa Bikin Pasangan Putus'

Lalu, dari mana sih asal mulanya kata ini?
Jancuk sendiri diambil dari nama seorang pelukis asal Belanda, Jan Cox, yang berada pada masa ketenarannya. Ketika masa penjajahan dulu, Belanda sering menurunkan tanknya untuk mengintimidasi warga Surabaya. Salah satu tank yang mereka miliki pada saat itu bertuliskan Jan Cox di bagian dekat senjata.
Karena ukuran tank ini yang tidak terlalu besar, memungkinkan untuk bisa masuk ke daerah perkampungan. Menuliskan nama sesuatu atau seseorang di bagian tank, pesawat, kapal, atau bom memang jamak dilakukan zaman Perang Dunia II.
Baca juga:
Jajanan SD di Negeri Aing Nikmat dan Bikin Ketagihan, Tapi...

Nah, karena persepsi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya mengindentifikasi sebagai tank musuh, setiap kali tank tersebut lewat mereka akan berseru, “Jan Cox! Jan Cox!” sebagai peringatan bahaya.
Jan Cox sendiri lahir di Den Haag, Belanda pada 27 Agustus 1919 dan meninggal pada 7 Oktober 1980. Terkenal berkat karyanya yang fenomenal, Jan Cox sendiri sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Karyanya pun tidak ada di Indonesia.
Mulai dari situ, panggilan Jan Cox yang direalisasikan menjadi Jancuk menjadi bahasa serapan Surabaya hingga sekarang.
Menurut Kamus Daring Universitas Gadjah Mada, jancuk, jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok memiliki makna “sialan” atau “brengsek” yang digunakan sebagai bentuk kekecewaan. Semakin ke sini, panggilan jancuk digunakan sebagai simbol keakraban, tergantung kepada siapa kamu menuturkannya. Apalagi di daerah seperti Malang, Surabaya, dan sekitarnya, jancuk seolah meningkatkan rasa kebersamaan dan persaudaraan.

Meski tergolong panggilan gaul anak muda, kata tersebut rasanya tidak pantas jika digunakan kepada orang yang lebih tua. Jika kamu masih sungkan atau ragu-ragu, lebih baik gunakan bahasa yang lebih halus, seperti bro atau nama panggilan. Semua tidak akan menjadi masalah apabila kita menyesuaikan kondisi dan situasi. (and)
Baca juga:
Bagikan
Andreas Pranatalta
Berita Terkait
Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Tradisi Yaa Qowiyyu Klaten, Ribuan Warga Berebut Gunungan Apem

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara

Genre Imajinasi Nusantara, Lukisan Denny JA yang Terlahir dari Budaya Lokal hingga AI

Menbud Pastikan Pacu Jalur yang Kini Viral Sudah Lama Masuk Daftar Warisan Budaya Takbenda Nasional

Pemprov DKI Segera Rampungkan Perda yang Melarang Ondel-ondel Ngamen di Jalan, Rano Karno: Mudah-mudahan Sebelum HUT Jakarta

Wajah Baru Indonesia Kaya Konsiten Usung Budaya Indonesia dengan Konsep Kekinian

Komisi X DPR Soroti Transparansi dan Partisipasi Publik dengan Menteri Kebudayaan

Fadli Zon: Kongres Perempuan 1928 Justru Diperkuat dalam Sejarah Indonesia

5 Museum Jakarta Buka Sampai Malam, Pengunjung Melonjak Hingga Ribuan
