SEKIRA 60 persen anak-anak dan remaja mengalami sakit kepala. Jumlah ini diketahui lewat penelitian yang dikutip oleh tim penulis dalam jurnal Ophthalmic Epidemiology.
Sakit kepala dapat memengaruhi kualitas hidup anak dan memengaruhi kehadiran dan performa mereka di sekolah. Para penulis studi baru tertarik untuk mencari hubungan kesehatan mata pada anak-anak dengan sakit kepala.
"Mereka mempelajari anak-anak yang mengunjungi dokter mata dengan keluhan sakit kepala," kata penulis studi utama Lisa Lin, MD, lulusan baru dari program residensi oftalmologi di Massachusetts Eye and Ear di Boston, AS. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Anak Philadelphia, tempat Lin menyelesaikan sekolah kedokteran, seperti dikutip Webmd (10/7).
Lin dan rekan-rekannya meninjau rekam medis dari 1.878 anak, mulai dari usia 2 hingga 18 tahun, yang memiliki gejala sakit kepala di klinik oftalmologi rawat jalan.
Semua anak menjalani pemeriksaan mata untuk mengetahui apakah mereka memiliki masalah mata atau masalah lain yang mungkin menyebabkan sakit kepala.
Baca juga:

Para peneliti menemukan bahwa sekira seperempat anak-anak memiliki satu atau lebih gangguan mata yang mungkin berkorelasi dengan sakit kepala mereka. Hampir seperlima anak memiliki masalah refraksi mata seperti rabun jauh, rabun dekat, atau astigmatisme.
Gangguan mata kedua yang paling banyak ditemukan pada 4,4 persen anak-anak adalah strabismus (ketidaksejajaran mata). Persentase yang sangat kecil dari anak-anak memiliki kondisi lain yang dapat menyebabkan sakit mata atau bisa menjadi tanda masalah intrakranial, termasuk uveitis, glaukoma, dan elevasi saraf optik.
Pasien dengan masalah mata biasanya mengalami sakit kepala yang berlangsung lebih singkat, tetapi tidak ada hubungan antara masalah mata dan seberapa sering mereka mengalami sakit kepala, kepekaan terhadap cahaya, sering mual/muntah, dan perubahan penglihatan.
Lin mengakui bahwa penelitian itu "terbatas" karena para peneliti tidak mengikuti anak-anak untuk melihat apakah sakit kepala mereka membaik setelah masalah mata diperbaiki. Misalnya dengan memakai kacamata.
Namun, temuan ini penting karena kira-kira seperempat dari anak-anak memiliki kondisi mata yang dapat diobati. "Mata sering menjadi 'jendela otak' dan mungkin perlu diperiksa jika anak-anak mengeluh sakit kepala," saran Lin.
Asisten profesor neurologi Paul G. Mathew, MD dari Harvard Medical School, mengaku tidak terkejut dengan temuan tersebut. “Sebagian besar anak dengan masalah mata dalam penelitian ini memiliki masalah refraksi dan mungkin membutuhkan kacamata,” katanya.
Baca juga:

Dia mengatakan, tidak semua masalah mata dapat ditemukan dengan menggunakan tes standar yang digunakan dokter. Terkadang perlu pemeriksaan mata yang lebih menyeluruh.
“Saya pikir masuk akal bagi seorang anak untuk menemui dokter mata jika anak tersebut mengalami sakit kepala dan keluhan penglihatan, tetapi saya juga akan berhati-hati agar tidak mengirim setiap anak yang sakit kepala ke dokter mata," kata Mathew.
Menurutnya, itu akan menaikkan biaya perawatan dan menunda evaluasi dan pengobatan untuk anak-anak dengan masalah mata yang lebih mendesak.
Masalah mata bisa menyebabkan sakit kepala dan memperburuk sakit kepala pada orang dengan gangguan seperti migrain. Dia memperingatkan bahwa seorang anak yang mengeluh sakit kepala tidak boleh diabaikan.
"Saya perhatikan bahwa orangtua sering tidak menganggap serius sakit kepala pada anak-anak mereka, terutama ketika mereka jarang atau episodik," kata Mathew, yang merupakan dewan direktur National Headache Foundation.
Jika anak mengalami sakit kepala, Mathew merekomendasikan orangtua untuk berkonsultasi dengan dokter anak. Merekalah yang dapat memutuskan apakah anak memerlukan konsultasi lebih lanjut dengan spesialis seperti dokter mata atau ahli saraf.
“Tanggapi mual dan muntah dengan serius. Sering kali anak-anak menjalani evaluasi gastrointestinal yang tepat dan ekstensif, tetapi gejala perut ini bisa menjadi gejala migrain,” katanya.
Meskipun episode tersebut tidak terlalu sering terjadi, Mathew merasa tidak boleh diabaikan, karena episode tersebut dapat menjadi lebih sering dan intens setelah pubertas, terutama pada anak perempuan. (aru)
Baca juga: