Entomofagi, Praktek Menyantap Serangga di Berbagai Belahan Dunia


Kemunculan entomogafi didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan dan ancaman krisis pangan. (Unsplash/Jeremy Bezanger)
FIGUR dalam lukisan kuno dari tahun 30.000 Sebelum Masehi (SM) itu masih tampak jelas. Seseorang yang tengah bersimpuh dan memakan lebah liar di sekitarnya. Lukisan di sebuah gua di Utara Spanyol ini disebut sebagai salah satu bukti tertua praktek entomofagi atau mengonsumsi serangga.
Bukti entomofagi lainnya teronggok pada feses manusia kuno yang terdapat dalam gua-gua di Amerika Serikat dan Meksiko. "Para ahli purbakala telah menemukan bahwa feses mereka mengandung semut, larva kumbang, lice, ticks, dan mites," catat F.G. Winarno dalam Serangga Layak Santap : Sumber Baru bagi Pangan dan Pakan.
Bagi sebagian orang, memakan serangga mungkin terlihat menjijikkan. Tapi praktek ini kaprah tersua di berbagai benua dan telah lama dilakukan. Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup pada abad ke-4 SM, mencatat entomofagi dalam bukunya, Historia Animalium.
“Larva jangkrik di dalam tanah saat mencapai waktu tertentu berubah menjadi nimfa. Rasanya paling enak sebelum kulitnya pecah," tulis Aristoteles seperti dikutip Arnold van Huis dkk. dalam Edible Insects Future Prospect for Food and Feed Security.
Aristoteles juga menyebutkan bahwa diantara jangkrik dewasa, yang rasanya paling enak adalah jangkrik betina yang sedang mengandung telur. Penelitian mutakhir para ahli telah memasukkan jangkrik sebagai salah satu serangga layak santap (edible insects).
Baca juga:

"Jangkrik memiliki kadar zat besi, kalsium, dan magnesium yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Selain itu tembaga, seng, mangan, dan kalsium dalam jangkrik, belalang, dan kutu beras lebih banyak tersedia untuk penyerapan tubuh dibandingkan nutrisi yang sama dalam daging sapi," catat Pratiwi Girsang "Serangga Solusi Pangan Masa Depan" termuat di Jurnal Pembangunan Perkotaan, Volume 6 Nomor 2, Juli -Desember 2018.
Selain catatan Aristoteles, entomofagi juga tersua dalam catatan Diodorus dari Sisilia (sekarang Italia Selatan-red.) yang hidup pada abad ke-2 SM. "Dia menyebut orang-orang dari Ethiopia sebagai akridofagi atau pemakan belalang muda (locust) dan tua (grasshoppers)," tulis Arnold van Huis dkk.
Di negeri Tiongkok, entomofagi juga tercatat dalam Compendium of Materia Medica karya Li Shizhen, tabib sohor yang hidup pada zaman Dinasti Ming. Dia menunjukkan kegunaan serangga sebagai makanan dan pengobatan.
Di Maroko, pengembara dari Arab dan Libya pada abad ke-16 menyambut kehadiran belalang muda yang berwarna kuning dengan riang gembira. Mereka menangkap, merebus, lalu memakannya. Beberapa diantaranya mengeringkan belalang itu, lalu mengolahnya jadi tepung sebagai cadangan pangan.
Peradaban Eropa dari masa Renaisans sempat membuat entomofagi menghilang dari beberapa wilayah Afrika dan Amerika. Mereka menganggap memakan serangga sebagai praktek menjijikkan dan primitif.
Kaprah disepakati bahwa orang-orang Eropa menjelajah ke berbagai wilayah pada abad ke-17 sembari membawa slogan memberadabkan orang-orang di luar wilayahnya. Karena itulah, mereka berupaya mengenalkan praktek makan yang baru kepada penduduk lokal dan menghapus praktek memakan serangga. "Dengan tujuan memodernisasi atau membaratkan mereka," terang Arnold van Huis dkk.
Baca juga:

Meski sempat menghilang, entomogafi muncul kembali dalam beberapa dekade terakhir ini di benua Amerika, Eropa, dan Afrika. Di Meksiko, misalnya, para seniman dan tokoh masyarakat terlibat mengkampanyekan kembali memakan serangga. "Menggunakan dasar menu yang terdiri dari pangan tradisional Meksiko sebagai wahana kampanye soft blue corn tortillas atau chillies dan keju dengan serangga yang kaya akan protein," terang F.G. Winarno.
Sementara itu di Inggris, toko-toko modern telah menjual produk pangan berbahan serangga utuh seperti jangkrik, rayap, ulat mopane, ratu semut, dan kepompong ulat sutra. Produk lainnya berupa tepung, kue kering, dan pasta serangga.
Di Swiss, aturan tentang izin peredaran pangan berbahan serangga telah dikeluarkan sejak 1 Mei 2017. Dengan begitu, serangga menjadi pangan yang legal diedarkan selama memenuhi persyaratan konsumsi setempat.
Di Zimbabwe dan Botswana, kudapan berbahan serangga seperti keripik juga mulai marak lagi. Kripik itu dibuat dari ulat mopane. Isi perutnya dikeluarkan, lalu dikeringkan untuk dibuat keripik.
Kemunculan entomogafi didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan dan ancaman krisis pangan. Berbagai bukti kiwari telah menunjukkan manfaat mengonsumsi serangga. Dari 1,4 juta spesies serangga, sebagian besar layak santap dan tidak berbahaya bagi manusia.
"Berlawanan dengan anggapan bahwa serangga sebagian besar berbahaya, dari satu juta spesies serangga, hanya lima ribu spesies yang dapat dianggap berbahaya bagi tanaman, ternak, atau manusia," urai I Made Adi Prema Nanda dalam "Analisis Risiko Penularan Zoonosis dari Serangga Konsumsi", termuat di Balairung Volume 2 No 2 Tahun 2020.
Penelitian kiwari juga membuktikan bahwa serangga layak santap (edible insects) tak berpotensi membawa dan menularkan penyakit kepada manusia (zoonosis). Selain itu, serangga juga mudah dibiakkan dan berbiaya rendah. Karena itulah serangga dianggap sebagai solusi krisis pangan.
Nah, bagaimana? Kamu jadi tertarik menyantap serangga, kah? (dru)
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
Jeritan UMKM di District Blok M, Harga Sewa Naik Langsung Bikin Tenant Cabut

Menemukan Ketenangan dan Cita Rasa Bali di Element by Westin Ubud, Momen Sederhana Jadi Istimewa

Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Karyawan Palsukan Tanggal Kedaluwarsa, Jaringan Ritel Jepang Hentikan Penjualan Onigiri

Oase Seribu Rasa di Arena Lakeside Kemayoran, Sajikan Kelezatan Nusantara dan Asia Tenggara dengan Sentuhan Modern

Berburu Promo Makanan di 17 Agustus, dari Potongan Harga sampai Tebus Murah

Bertualang Rasa di Senopati, ini nih Rekomendasinya
Gerakan ’SAPU PLASTIK’ Kumpulkan 2,5 Ton Limbah, Beri Apresiasi Pelanggan dengan Diskon 20 Persen

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara

Genre Imajinasi Nusantara, Lukisan Denny JA yang Terlahir dari Budaya Lokal hingga AI
