Bolos Sekolah Belum Tentu Anak Salah

Andreas PranataltaAndreas Pranatalta - Kamis, 01 Juli 2021
Bolos Sekolah Belum Tentu Anak Salah
Dipengaruhi faktor internal dan eksternal. (Foto: Instagram/cikarangdaily)

YIGAL, almunus SMA swasta di Tangerang, mengenang masa paling mendebarkan selagi menanti pengumuman kelulusan. Ia cemas bepredikat tak lulus lantaran sering bolos. Absensinya banyak bolong meski nilainya enggak terlalu jeblok. "Paling enggak suka sama guru kimia namanya, Bu Risma. Ia gaya belajarnya old school banget, kalau ngajar galak, enggak pernah senyum, dan suka marah-marah," kenang Yigal menyampaikan pledoi tentang muasal sering 'cabut' sekolah.

Yigal berdalih merasa tak nyaman di sekolah lantaran bertemu dengan guru tak menyenangkan. Selain cara mengajarnya membosankan juga perangai gurunya sangat galak. Meski sebaik apa pun alasan Yigal, perbuatan bolos sekolah memang tidak dibenarkan. Namun, jangan melulu melihat fenomena bolos sekolah selalu siswa dijadikan terdakwa. Mungkin pemangku kepentingan di dunia pendidikan bisa melihat dari sudut pandang lain.

“Biasanya banyak bolos itu mereka tingkat akhir, waktu di semester pertama. Mereka menganggap karena sudah memasuki masa-masa akhir sekolah, jadi ingin merasakan namanya bolos,” kata Yulius, salah satu guru Bimbingan Konseling di salah satu sekolah swasta daerah Tangerang.

Ada berbagai macam faktor menyebabkan anak tidak mau sekolah, mulai dari keluarga, lingkungan sekolah, atau gaya belajar guru terlalu kaku atau membosankan.

Baca juga:

PPDB Daring Meminimalisasi 'Bangku Kosong' Negeri Aing

Fenomena Bolos Sekolah Belum Tentu Anak yang Salah
Pertemanan sekolah punya dampak besar. (Foto: Instagram/euissyafitri29)

Penelitian dilakukan Mogulescu & Segal (2002) dalam Approaches to Truancy Prevention mengatakan, 75 sampai 85 persen kenakalan remaja dilakukan di sekolah adalah suka bolos atau sering absen dari sekolah. Kebiasaan bolos sering dilakukan akan berdampak negatif pada dirinya sendiri, seperti dihukum, skorsing, tidak dapat mengikuti ujian, ketinggalan pelajaran, bahkan bisa dikeluarkan dari sekolah.

Menurut studi tentang Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku Membolos pada Siswa SMK dilakukan Minarni, kebiasaan bolos berasal dari faktor eksternal dan internal.

Faktor eksternal pertama dipengaruhi lingkungan sekolah. Letak dan bentuk bangunan sekolah berada di pinggiran kota membuat sekolah tersebut menemukan banyak kendalam dalam menciptakan lingkungan belajar efektif. Di beberapa sekolah mungkin ada banyak tempat-tempat pendukung untuk bolos, seperti warung kopi langganan, tempat rental PlayStation, atau warnet dirasa aman. Belum lagi dinding atau pagar sekolah menjadi tempat langganan siswa untuk memanjat.

“Di samping sekolah kita memang ada warung tempat jajan gitu, kaya ada mi, minuman dingin, dan jajanan lainnya. Dan mereka sering ke sana, apalagi jam-jam ngantuk,” ujar Yulius.

Karakter dan cara mengajar guru bisa dibilang menjadi faktor utama kenapa mereka bolos. Guru dan siswa kurang bekerja sama dalam menciptakan suasana belajar efektif dan tenang. Ada beberapa guru ditakuti dan disegani karena dianggap galak atau killer dalam mengajar. Karakterisik pribadi dan kompetensi guru zaman sekarang sangat berpengaruh terhadap kualitas iklim kelas, proses kegiatan belajar mengajar, dan hubungan dengan siswa. Alhasil, salah satu penyebab siswa tersebut bolos karena tidak nyaman mengikuti pelajaran dan akhirnya mereka malas berada di kelas.

Gaya mengajar guru kurang kreatif dan monoton akan melekat di benak siswa. Misalnya saja dalam belajar fisika, mungkin bisa dikombinasikan dengan menyaksikan tayangan berhubungan dengan dunia fisika di kehidupan sehari-hari. Seperti penjelasan mengapa air dan minyak tidak bisa bersatu, mengapa setrika menghasilkan uap, atau bagaimana headphone bisa menghasilkan suara. Visual dan penjelasan dari pembuat konten akan menarik perhatian siswa untuk belajar lebih banyak.

Baca juga:

Ngajak Bolos Sekolah Ada Kodenya di Negeri Aing

Fenomena Bolos Sekolah Belum Tentu Anak yang Salah
Warnet jadi salah satu tempat sasaran bolos. (Foto: Instagram/dsternet.esport)


Belum lagi Kurikulum 2013 (K13) yang sempat diterapkan membuat siswa harus presentasi setiap pertemuan. Tak jarang mereka mengaku bel jam istirahat terasa sangat lama.

“Waktu itu sekolah kita sempat menerapkan K13 hanya satu semester saja. Jelas siswa masih belum terbiasa sehingga banyak laporan kalau banyak tidur juga,” katanya.

Salah satu cara sekolah memberikan warna dalam kegiatan belajar mengajar adalah dengan menghadirkan guru fresh graduate atau usia lebih muda dengan metode belajar lebih atraktif. Percuma saja guru masih muda cara belajarnya masih monoton.

Dengan adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemi ini, sistem daring menjadi tantangan tersendiri bagi para guru untuk berpikir lebih kreatif dan siswa dapat mendapatkan ilmu. Terkadang, proses pembelajaran tatap muka saja sulit bagi mereka.

Menurut Singgih Gunarsa dalam bukunya berjudul Psikologi untuk Membimbing, lingkungan pertemanan di sekolah juga menjadi alasan kenapa mereka menghindar untuk bolos. Bullying, perbedaan kasta, perbedaan pintar atau tidaknya, sering mendapat ancaman, atau soal minoritas. Individu prestasi akademisnya lebih rendah dibandingkan teman-temannya, membuat mereka memiliki self efficacy rendah juga. Hal ini membuat mereka tidak meyakini akan kemampuannnya sukses di sekolah.

Selain itu, faktor eksternal lain ikut memengaruhi siswa membolos adalah keluarga. Orang tua tidak lengkap, keluarga kurang harmonis, latar belakang orang tua, orang tua bekerja di luar kota, hingga pola asuh menjadi rangkaian aspek penyokong anak menghindari sekolah. Tak bisa dipungkiri, masih ada orang tua mengandalkan anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas di rumah, bahkan ada juga ikut membantu mencari nafkah.

Fenomena Bolos Sekolah Belum Tentu Anak yang Salah
Perlu adanya bimbingan konseling. (Foto: Unsplash/Priscilla Du Preez)

Faktor internal, siswa biasanya memiliki ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, kurangnya motivasi dan panutan dalam belajar, belum mengejarkan PR, tidak memiliki alat transportasi ke sekolah, atau merasa bosan sekolah.

Mencegah siswa sering bolos memerlukan pendekatan dalam berbagai macam cara dengan melibatkan sekolah, orang tua, teman, dan diri mereka sendiri. Daripada menghukum siswa bolos, pihak terkait dapat memberikan mereka program efektif seperti mentoring, pelatihan komunikasi, seminar psikologi, hingga keterlibatan komunitas sekitar.

Orang tua juga bisa melakukan konsultasi dengan kepala sekolah, guru BK, atau wali kelas untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam beberapa kasus, memindahkan ruang kelas atau bahkan ke sekolah baru dapat membaantu menghindari terjadinya pembolosan. (and)

Baca juga:

'Rojali', Tetap Nongkrong Meski Dompet Kopong

#Juli Ngilmu Di Negeri Aing #Pendidikan #COVID-19
Bagikan
Ditulis Oleh

Andreas Pranatalta

Stop rushing things and take a moment to appreciate how far you've come.
Bagikan