Art Brut: Karya Istimewa Anak-Anak Spesial
KOLONIALISME yang terjadi pada abad ke-19 melahirkan seni baru yang merefleksikan cara orang untuk memperluas pikiran mereka terhadap budaya asing dan mempertanyakan kanon budaya sendiri. Kanon tersebut menjadi alat pembedaan sosial dan senjata mereka melawan bentuk perlawanan terhadap cemoohan bagi orang-orang yang terisolasi. Mereka yang termarjinalkan meluapkan jerit hati mereka dengan menggambar, melukis atau memahat.
Uniknya lagi, seni termarjinalkan atau yang dikenal dengan sebutan art brut bukan ditemukan seniman, pelukis, atau kurator. Seni ini justru ditemukan pakar psikologis, ketika ilmu psikologi mulai muncul sebagai bidang terpisah dari kedokteran.
BACA JUGA: Rekomendasi Gitar Listrik di Bawah Rp 3 Juta untuk Pemula
Berkembangnya art brut pada dekade 1890-an membuat psikoanalisis begitu populer. Psikiater dan psikolog pun menganjurkan kegiatan kreatif seperti menggambarkan sebagai terapi bagi pasien autis dan gangguan jiwa lainnya. Seni pun menjadi media mereka untuk menyalurkan mimpi dan obsesi.
Benar saja, art brut yang berkualitas bisa dihasilkan para seniman istimewa tanpa campur tangan pihak ketiga. Seniman penghasil art brut memiliki dorongan spontan untuk untuk mengekspresikan diri tanpa desakan dari pihak lain.
Ketika ditemui di Ciputra Artpreneur, Jumat (8/9), kurator Jean Couteau menuturkan ada sesuatu yang ingin mereka sampaikan melalui karya mereka. "Sulitnya kemampuan mereka dalam berkomunikasi membuat mereka menciptakan bahasa baru yang direfleksikan melalui gambar-gambar yang mereka buat," ujarnya.
Beberapa lukisan spesial karya anak-anak istimwa tersebut tergantung indah di galeri Ciputra Artpreneur. Di sebuah ruangan kaca berukuran sedang, kamu bisa melihat karakter yang begitu kuat dari setiap lukisan. Hebatnya lagi, bukan hanya lukisannya yang dipajang, dinding tempat mereka menggantungkan karya terbaik mereka pun dilukis sesuai dengan karakter masing-masing. Berikut karya mereka.
1. Bima Ariasena Adisoma
Galeri Ciputra Artpreneur terbagi atas dua lantai. Di lantai satu, kita disajikan dengan lukisan dari Bima Ariasena Adisoma atau yang akrab disapa Ari. Pemuda kelahiran 1988 tersebut mengidap autisme dan memengaruhi persepsi indera dan kemampuan komunikasinya.
Ia menjadikan melukis sebagai terapi dan kini menghasilkan lukisan abstrak yang indah. Lukisannya tampak semakin bermakna tatkala mengetahui bahwa ia menggunakan warna-warni untuk mengungkapkan rasa cinta dan hormat kepada ibunya.
2. Anfield Wibowo
Naik ke lantai dua, kita bisa melihat tiga lukisan berjudul Dinner, Bersama Boneka Kesayangan, dan Snow White and 7 Dwarves. Ketiga lukisan tersebut merupakan karya Anfield Wibowo.
Anfield ialah remaja dengan sindrom Asperger dan tunarungu berusia 15 tahun. Ia melukis dengan berbagai macam gaya, mulai dari figuratif, abstrak, ekspresionis, hingga naturalis. Pada November 2017, ia diundang oleh pihak kepresidenan ke Istana Bogor untuk melakukan live painting melukis wajah Perdana Menteri Denmark dan keluarganya.
3. Oliver Wihardja
Oliver Adivarman Wihardja ialah remaja kelahiran 2001 yang mengidap autisme dan hiperaktif. Ia kesulitan konsentrasi dan mengendalikan impulsnya. Melukis menjadi salah satu bentuk terapi yang memberikan rasa tentram dan kebebasan. Karyanya sudah terjual di lelang sejak ia berusia 10 tahun. Ia juga pernah memenangi juara pertama kategori Seni Visual ANCA di World Autism Festival di Vancouver, Kanada.
BACA JUGA: Fotografi, Media Ekspresi Anak Berkebutuhan Khusus
4. Dwi Putro
Dwi Putro atau yang akrab disapa Pak Wi mengidap schizofrenia. Selama menempuh pendidikan di SLB, manifestasi gangguan mentalnya terwujud. Ia lebih suka menyendiri. Namun, di beberapa kesempataan, ia sering berteriak dan mengamuk di rumahnya. Sejak kecil ia senang mencoret-coret kertas dengan tulisan dan gambar pemandangan.
Untuk memfasilitasi bakat tersebut, ia pun didampingi adiknya, Nawa Tunggal, untuk melukis hingga saat ini. Lukisan miliknya yang dipamerkan di Ciputra Artpreneur begitu berbeda dan mencolok ketimbang seniman lainnya. Ia menggunakan paper clay.
5. Raynaldy Halim
Pria kelahiran 9 September 1997 ini terlahir normal dan bisa bicara. Namun pada usia 16 bulan, seniman yang akrab disapa Aldy tersebut mengalami regresi hingga akhirnya tidak bisa bicara sama sekali. Dokter pun mendiagnosis ADHD (attention deficit hyperactive disorder) yang merupakan salah satu spektrum autisme.
Kegiatan melukis membuatnya lebih tenang dan baik. Ia mulai melukis aliran abstrak sejak Mei 2017. Pada 2018, Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) memberikan penghargaan padanya karena melukis lebih dari 1.000 karya dalam waktu setahun.
6. Aqil Prabowo
Seniman muda berusia 14 tahun ini memiliki nama lengkap Aqillurachman Prabowo. Sebuah diagnosis disleksia membuatnya sulit menulis dan membaca. Ia pun melimpahkan imajinasinya ke seni lukis.
Kegemarannya berjalan-jalan membuat ia mendengarkan kisah hidup orang-orang yang ditemuinya dan menjadikan pengalaman tersebut sebagai subjek karyanya. Ia menggunakan corak dan warna untuk menciptakan miniatur dunia dengan naratif yang dramatis.(avia)
BACA JUGA: Yang Penting Suka Dulu, Cara Kenalkan Fotografi ke Anak Berkebutuhan Khusus