Film

4 Fenomena Sosial di Film Joker yang Benar-Benar Terjadi di Dunia Nyata

Ananda Dimas PrasetyaAnanda Dimas Prasetya - Kamis, 10 Oktober 2019
4 Fenomena Sosial di Film Joker yang Benar-Benar Terjadi di Dunia Nyata
Joker diperankan oleh Joaquin Phoenix. (Foto: NME)

MENJADI film yang penuh kontroversi, karakter penjahat yang paling ikonik dari DC ini tetap menjadi film yang paling dibicarakan. Dilansir dari edition.cnn.com, Joker meraup pendapatan terbesar pada penayangan perdananya untuk Warner Bros. dan film kategori R-rated dengan keuntungan USD 248 juta atau setara dengan Rp 3 triliun di seluruh dunia pada 7 Oktober 2019.

Terlepas dari kontroversi yang mengatakan akan mendorong kekerasan di masyarakat, beberapa fenomena yang terjadi di universe film Joker terbaru juga banyak berhubungan dengan kehidupan nyata lho! Apa saja ya? Peringatan sebelum membaca lebih lanjut, artikel ini mengandung spoiler.

Baca juga:

3 Nilai Kehidupan dari Film Joker yang Menyentil Kamu

1. Gangguan kesehatan mental masih belum dianggap serius

Gangguan Kesehatan Mental Film Joker
Cobalah untuk berdiri di sepatu orang lain sebelum menghakimi. (Foto: Pop Sugar)

“The worst part of having mental illness is people expect you to behave as if you don't,” seperti yang dikutip dari perkataan Arthur Fleck (Joker) dalam film. "Bagian terburuk dari memiliki gangguan mental adalah bahwa orang-orang berharap kamu untuk berperilaku seperti kamu tidak memiliki gangguan mental."

Mungkin akan terasa sulit jika harus dibayangkan oleh mereka yang tidak memilikinya, namun mental illness merupakan gangguan yang sangat berpengaruh bagi kehidupan para pengidapnya. Meskipun seringkali tidak menimbulkan gejala yang kasat mata, tetapi gangguan mental bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan.

Kita tidak bisa memahami kesulitan yang harus dirasakan mereka yang mendengar suara-suara dari kepala, halusinasi, anxiety, traumatik, panic attack, serta berbagai jenis gangguan mental yang muncul terhadap mereka yang memilikinya.

Seringkali kita mengganggu, mengucilkan, atau menertawai mereka yang berbeda, tanpa ingin mengetahui masalah seberat apa yang sedang dipikul. Ini kerap terjadi di kemasyarakatan yang kita tinggali saat ini. Selain itu, kita menganggap remeh atau bahkan membenci apa yang tidak kita pahami atau mengerti.

Mulai sekarang, cobalah untuk tidak sering menghakimi orang lain dan merasa masalah sendirilah yang paling berat. Kita semua sedang bergumul dengan berbagai persoalan yang berbeda-beda sehingga ada baiknya kita saling menghargai orang lain untuk menciptakan lingkungan kemasyarakatan yang damai dan rukun.

2. Hanya berpikir dari satu sudut pandang

Gangguan Mental Film Joker
Jangan remehkan gangguan mental. (Foto: CinemaBlend)

Jika kalian penggemar cerita Joker dan Batman, mudah saja pastinya untuk menentukan mana yang baik dan jahat. Namun sama seperti yang dikatakan Joker, " All of you, the system that knows so much, you decide what’s right or wrong. The same way that you decide what’s funny or not."

Sama halnya dengan diri kita, dengan mudah kita melabelkan seseorang sebagai orang yang jahat atau baik hanya berdasarkan satu peristiwa atau perilaku yang dilakukan.

Dalam film Joker, pemberitaan seolah-olah mengatakan bahwa ketiga orang yang terbunuh di bis merupakan anak muda berbakat dan berprestasi yang dibunuh oleh orang miskin yang iri. Padahal mereka tidak mengetahui cerita lengkapnya saat ketiga pemuda bersikap tidak sopan terhadap perempuan dan mem-bully Arthur Fleck atas gangguan mentalnya yang suka tertawa tiba-tiba.

Menilai sesuatu hal setengah-setengah sering menjadi problematika setelah internet marak digunakan orang dari segala kalangan. Mudah berkomentar dan menghakimi, usahakanlah untuk mencari asal-usul peristiwa dahulu dan coba pikirkan jika kalian berada di posisi mereka sebelum menghakimi atau melabelkan seseorang berdasarkan tindakannya.

Baca juga:

Heath Ledger vs. Joaquin Phoenix, Siapa Aktor Pemeran Joker Terbaik?

3. Politikus tidak perduli dengan masyarakat

Politikus Film Joker
Thomas Wayne mencalonkan diri sebagai walikota di film Joker. (Foto: CinemaBlend)

Latar retro pada Joker membawa kita pada kota Gotham kira-kira 30 tahun lalu saat krisis ekonomi sedang melanda. Thomas Wayne menjadi seorang tokoh politik yang kaya, berkuasa, dan ambisius untuk menjadi walikota.

Dapat dikatakan bahwa pemerintahan di kota Gotham tidak begitu memperhatikan rakyatnya, terlihat dari adegan dimana sang pekerja sosial yang merupakan terapis dari Arthur Fleck mengatakan bahwa dana untuk servis sosial telah dipotong dan ia mengatakan bahwa "They don't give a shit about people like us." Ketidakadilan dalam aspek perpolitikan yang terjadi di dunia nyata memang kurang lebih mirip dengan situasi yang ada dalam film Joker.

Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terjadi kasus dimana para politikus lebih mengutamakan kepentingannya sendiri diatas kepentingan masyarakat. Kepentingannya tersebut bisa berupa uang, jabatan, kekuatan, kedudukan sosial, dan lain-lain.

Mereka yang ambisius tentunya akan berusaha mengambil hati rakyat dalam masa kampanye, namun ketika terpilih segala visi dan misi yang pernah dijanjikan akan dikesampingkan demi kepentingannya sendiri.

4. Dunia yang tidak adil

Ketidakadilan Film Joker
Arthur Fleck dipecat dan ibunya masuk rumah sakit. (Foto: Overblog)

Meskipun telah hidup berkesusahan, ada saja rekan kerja jahat yang menjebak Fleck dengan memberikannya pistol hanya karena ia aneh dan berbeda. Setelah berbagai kesalahpahaman, akhirnya Fleck harus kehilangan pekerjaannya. Ditambah lagi, layanan sosial yang menyediakan terapis serta menyubsidi obat-obatan Fleck juga harus dihentikan oleh pemerintah.

Tidak lama kemudian, Arthur harus dihadapi kenyataan bahwa ia adalah anak adopsi dan ibunya memiliki gangguan mental delusional yang membuatnya suka berhalusinasi dan membiarkan Fleck dipukuli sejak kecil oleh pacar ibunya.

Sama seperti di film Joker, hidup memang tidak adil. Ibarat pepatah, kadang kita berada dalam posisi "sudah jatuh, tertimpa tangga". Pergumulan satu belum selesai, hadir lagi pergumulan lain yang tidak kalah urgent untuk diselesaikan. Namun, semua kembali lagi tentang bagaimana kita ingin menghadapinya. Semua orang memiliki kehidupan yang sulit dengan tingkatan mereka masing-masing.

Jika film Joker dianggap mampu mendorong pemikiran bahwa menjadi jahat seolah sah-sah saja, pemikiran tersebut kembali lagi tentang bagaimana para viewers ingin menginterpretasikan makna dibalik film Joker sendiri. Ada banyak makna yang bisa diambil selain unsur kasus kekerasan dalam film Joker, dan masyarakat saat ini tentunya bukan lagi menjadi masyarakat yang mengonsumsi media secara mentah-mentah.

Dalam film Joker, malah seharusnya kita mampu disadarkan bahwa kita juga merupakan bagian dari masyarakat. Selain menjadi korban kejamnya masyarakat, kita juga berperan sebagai anggota masyarakat itu sendiri. Film Joker bisa menjadi teguran, menambah wawasan tentang gangguan mental, sekaligus sarana penghibur dengan aktor dan aktris yang sangat menjiwai perannya. (Shn)

Baca juga:

Jajaran Aktor Pemeran Joker dari Masa ke Masa

#Lampu Kuning Oktober #Joker #Joaquin Phoenix #Gangguan Mental #Kesehatan Mental #Film Baru
Bagikan
Ditulis Oleh

Ananda Dimas Prasetya

nowhereman.. cause every second is a lesson for you to learn to be free.
Bagikan