Mengembalikan Esensi Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan

Selasa, 15 November 2022 | Hendaru Tri Hanggoro

SURYA bersinar terik di lapangan sekolah pagi itu. Kamu dan teman sekelasmu berbaris di tepi lapangan sambil menunggu giliran maju. Di depan sana, murid lain sedang melakukan gerakan servis pada voli.

Sesekali ia berlari meninggalkan lapangan untuk mengambil bola yang melanting jauh. Akhirnya, waktu terbuang percuma hanya untuk berdiam diri dan menunggu sambil panas-panasan.

Ilustrasi itu menjadi contoh jam pelajaran PJOK (Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan) di hampir seluruh sekolah Indonesia. Kelihatannya wajar. Namun, Agus Mahendra selaku Kepala Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Pendidikan Jasmani Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjelaskan bahwa hal ini sebetulnya salah.

"Penjas di Indonesia masih berbasis olahraga. Olahraga mengajarkan teknik dasar dan memerlukan alat. Sedangkan alat olahraga di Indonesia masih sangat terbatas. Sehingga penjas di kita lebih banyak ngantrinya," ungkap Agus dalam sesi konferensi pers di Bale Nusa, Jakarta Selatan, Senin (14/10).

Jumlah alat dan fasilitas olahraga yang tidak mumpuni ini menjadi salah satu kendala besar di berbagai sekolah. Terutama jika lokasinya berada di daerah terpencil. Kalau mata pelajaran olahraga hanya mengandalkan alat dan teori, banyak anak akan kesulitan melakukan kegiatan jasmani.

Baca juga:

Edukasi LGBTQ+ Masuk Kurikulum Sekolah Skotlandia

esensi pjok
Banyak guru olahraga menganggap bahwa mata pelajaran penjas hanya bisa diisi dengan olahraga seperti bulu tangkis dan voli saja. (Foto: Pexels/Pixabay)

Mereka harus menunggu dan bergantian dengan yang lain. Saat menunggu, mereka menghabiskan waktu dengan bersantai. Saat sudah gilirannya pun, waktu yang diberikan hanya sedikit. Akibatnya, fisik jadi tidak terlatih dan otot pun sulit berkembang.

Belum lagi, Agus menekankan bahwa olahraga biasanya bersifat eksklusif. Terkadang hanya anak-anak yang berbakat di bidang olahraga saja yang aktif secara jasmani.

Mereka yang tak berbakat cenderung duduk di tepi lapangan. Saat jeda istirahat pun anak akan langsung pergi ke kantin dan jajan makanan serta minuman manis.

Padahal, esensi mata pelajaran PJOK adalah gerak jasmani dan olahraga. Jadi, segala kegiatan yang membuat fisik anak bergerak secara aktif dapat dikategorikan sebagai kegiatan PJOK.

Agus membuat patokan kegiatan jasmani yang baik adalah yang membuat anak berkeringat dan merasa terengah-engah. Dua hal ini mengindikasikan bahwa jantung bekerja secara optimal dan sesuai dengan ketentuan WHO (World Health Organization).

Gerak jasmani ini bisa meliputi banyak hal. Misalnya berlari, melakukan permainan tradisional, atau permainan berkelompok. Dengan begitu, alat dan waktu bukan lagi menjadi kendala utama bagi anak di sekolah.

Baca juga:

Memupus Kesenjangan Digital dalam Pendidikan Anak-Anak

esensi pjok
Kegiatan jasmani dapat diisi dengan kegiatan apapun selama itu intensitasnya tinggi dan melibatkan kegiatan fisik. (Foto: Pexels/Run 4)

"Oleh sebab itu, peningkatan aktivitas fisik anak di sekolah melalui penjas itu perlu didorong oleh kesadaran guru juga untuk memperbaiki menu (kegiatan) olahraga. Yang mana (menu ini) disesuaikan dengan kemampuan anak atau kita sebut dengan DAP, Developmentally Appropriate Practice," lanjut Agus.

Dia menyebut masih banyak guru PJOK di Indonesia yang belum paham konsep ini. Karena itu, program kampanye BOKS atau Build Our Kids' Success sedang mencoba menerapkan berbagai kegiatan fisik dalam mata pelajaran di sekolah.

Selain mengajak anak bergerak aktif nan kreatif, program ini juga berusaha menghapus kesenjangan pada anak agar semua orang bisa bergerak aktif. Terlepas dari latar belakang ekonomi dan kemampuan mereka.

Harapannya adalah agar anak terbiasa untuk bergerak aktif sejak dini. Mengingat anak di Indonesia hanya punya jam olahraga 1 kali seminggu. Sedangkan di negara maju, idealnya tiap anak berolahraga 5 kali dalam seminggu.

Lebih jauh, Agus menyebutkan bahwa tubuh yang terlalu banyak diam atau istirahat dapat berpotensi meningkatkan risiko diabetes tipe 2 pada kemudian hari. Sebab, tubuh yang jarang bergerak menimbulkan penumpukan gula dalam darah dan memberatkan kerja hormon insulin untuk mengendalikan hal tersebut. (mcl)

Baca juga:

Jangan Paksakan Anak Berolahraga

Baca Original Artikel