Tradisi Fang Sheng, Ironi Melepas Hewan Liar ke Alam Bebas


Iwan Kuya (38), seorang penjual kura-kura untuk tradisi Fang Sheng, memegang kura-kura dagangannya yang dibeli dari peternakan di Cibubur. (Foto: MerahPutih/Rizki Fitrianto)
MerahPutih Budaya - Tradisi Fang Sheng sangat erat dengan ajaran agama Buddha Mahayana Tiongkok. Ada makna tersirat di balik ritual melepas makhluk hidup ini. Ritual ini digelar dengan melepaskan hewan hidup ke alam. Fang Sheng dipercaya memiliki pengaruh bagi kehidupan dan keberuntungan.
Biasanya, warga keturunan Tionghoa melepaskan hewan semisal penyu, kura-kura, ikan, atau burung dalam tradisi Fang Sheng. Penyu yang berumur panjang dipercaya sebagai suatu permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar umur panjang menyertai orang yang melepas.
Tradisi melepasan makhluk hidup ke alam liar dalam ajaran agama Buddha disebut sebagai Fang Sheng. Fang Sheng berasal dari bahasa Mandarin. Fang berarti “melepas” dan Sheng merunjuk pada “makhluk hidup”. Dengan demikian, Fang Sheng memiliki pengertian melepaskan makhluk hidup. Makhluk hidup hewan itu dilepas ke habitat masing-masing agar dapat mereguk kembali alam bebas dan bahagia.
Hewan-hewan yang sebelumnya dikurung dilepaskan ke alam liar. Makhluk hidup itu dibiarkan lepas untuk mendapat kesempatan untuk terus hidup di tempat mereka seharusnya. Warga Tionghoa akan mencari hewan-hewan yang terkurung atau membutuhkan perlindungan manusia untuk kemudian dilepaskan ke alam liar.
Warga keturunan Tionghoa dengan tradisi Fang Sheng turut serta dalam membantu melestarikan hewan yang terancam punah. Penyu dan kura-kura misalnya, kedua hewan terancam di habitatnya karena perburuan. Daging dan telur penyu dikonsumsi. Maka, masyarakat Tionghoa berusaha menyelamatkan dan melepaskan kembali ke habitatnya yaitu secara simbolis melepaskan penyu ke pantai saat ritual Fang Sheng.
Tapi tradisi Fang Sheng tak lepas dari kontroversi. Tradisi sangat mulia ini dikotori oleh sebagian orang yang ingin mendapatkan keuntungan dari masyarakat Tionghoa yang mencari hewan untuk dilepaskan.
Kenyataan saat ini, bahwa banyak juga orang yang memanfaatkan momen tradisi Fang Sheng untuk mencari uang. Mereka akan menangkap hewan penyu dan burung untuk kemudian dijual di Klenteng atau Vihara tempat melaksanakan ritual ini.
Pada umumnya, masyarakat Tionghoa saat ini sudah berpikiran rasional dan sudah tidak begitu menyetujui Fang Sheng dengan cara membeli binatang di pasar lalu kemudian dilepaskan kembali. Selain karena tidak tahu apakah hewan itu didapat dengan cara berburu atau bukan, ada kemungkinan banyak binatang itu diternak atau dipelihara. Jika dilepas ke alam bebas, binatang peliharaan akan mati karena tidak tahu bagaimana mencari makan di alam bebas. Pada intinya, hal yang ditekankan dalam tradisi Fang Sheng saat ini yaitu mengetahui asal usul hewan yang akan dilepaskan.
Salah seorang pedagang hewan untuk ritual Fang Sheng Iwan Kuya (38) mengatakan, ia sudah 14 tahun menjual kura-kura untuk tradisi Fang Sheng di depan Klenteng Boen Tek Bio, Tangerang. Ia melanjutkan, bahwa kura-kura yang dijual dibeli dari peternakan di Cibubur. Kura-kura itu kemudian dijual dengan harga Rp150.000 per ekor. Ia bisa menjual 30 ekor penyu per hari.
Iwan mengatakan, ia bukan semata-mata mencari keuntungan. Ia berjualan karena untuk membantu menyebarkan kura-kura atau satwa dari peternakan untuk hidup dan berkembang biak di alam bebas, yaitu melalui jalan tradisi Fang Sheng. Kura-kura yang dijual untuk tradisi Fang Sheng berasal dari 3 peternakan di Bogor, Rangkas Bitung, dan Cibubur. Ketiga peternakan itu sekarang sudah tidak buka lagi.
"Yang menjadi pelanggan biasanya umat Buddha atau pesanan perusahaan yang ingin melakukan tradisi Fang Sheng. Membantu melestarikan satwa sebuah berkah tersendiri untuk saya dan keluarga," kata Iwan. (rkf)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Kucing Merah Kalimantan Muncul Setelah 20 Tahun, Ini Keunikan dan Ancaman terhadap Keberadaannya

Kura-Kura Galapagos Berumur 100 Tahun Hasilkan Anak untuk Pertama Kalinya

Umat Buddha Gelar Buka Puasa Bersama untuk Umat Muslim saat Ramadan 1446 H di Vihara Dharma Bakti

Warga Etnis Tionghoa Berburu Pernak-pernik Jelang Perayaan Imlek 2025

Komunitas Tionghoa Curhat ke RIDO, Jakarta Harus Punya Gedung Opera Kesenian

Bertemu Komunitas Tionghoa, Ridwan Kamil Pamer Punya 20 Karya di China

Ilmuwan Ingin Bangkitkan Beruang Raksasa yang Punah Ribuan Tahun Lalu

Ilmuwan Temukan Gunung Bawah Laut, Tingginya 4 Kali Burj Khalifa

Memahami Makna di Balik Angka 8 dalam Kepercayaan Masyarakat Tionghoa

Lampion dan Dekorasi Naga Warnai Kota Solo
