BI Turunkan BI Rate dan GMW Primer
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo (tengah) saat konferensi pers Pengumuman Penurunan BI Rate di Gedung Bank Indonesia, Kamis (18/2). (Foto: MP/John Abimanyu)
MerahPutih Keuangan - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 dan 18 Februari 2016 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 basis point (BPS) menjadi 7%, dengan suku bunga Deposit Facility menjadi 5% dan Leading Fasility menjadi sebesar 7,5%.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer dalam rupiah sebesar 1% dari 7,50% ke level 6,5%, berlaku sejak 16 Maret 2016.
"Keputusan tersebut sejalan dengan ruang pelanggaran kebijakan pelonggaran kebijakan moneter yang semakin terbuka dengan semakin terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya penurunan tekanan inflasi di 2016, serta meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global," ujar Agus saat konferensi pers Pengumuman Penurunan BI Rate, di gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (18/2).
Agus menjelaskan, kebijakan penurunan BI Rate dan GWM Primer dalam rupiah tersebut diharapkan dapat memperkuat upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung.
"Bank Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah untuk memastikan pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural berjalan dengan baik, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan ke depan dengan tetap menjaga stabilitas maktroekonomi," kata Agus.
Di sisi perekonomian global, lanjutnya, pemulihan ekonomi berisiko terus melemah. Sementara itu, risiko di pasar keuangan global yang bersumber dari kemungkinan kenaikan Suku Bunga Kebijakan Bank sentral Amerika serikat (AS) atau Fed Fund Rate (FFR) semakin reda.
"Pemulihan ekonomi AS masih tertahan seiring dengan konsumsi yang masih lemah, perbaikan sektor perumahan yang melambat dan sektor manufaktur yang masih terkontraksi," terangnya.
Menurutnya, pemulihan ekonomi AS yang belum solid mengakibatkan perkiraan kenaikan FFR bergeser mundur pada semester II 2016 dengan besaran kenaikan yang lebih rendah.
"Bank Sentral Eropa (ECB) masih melanjutkan kebijakan quantitave easing (QE) sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi eropa yang masih rendah. Demikian pula Bank Sentra Jepang yang mulai menerapkan kebijakan suku bunga negatif," ungkapnya.
Agus menjelaskan, di sisi lain, perekonomian Tiongkok terus melambat akibat masih lemahnya sektor manufaktur dan investasi, sejalan dengan proses deleveraging yang dilakukan oleh sektor korporasi.
"Sementara itu, di pasar komoditas harga minyak dunia diperkirakan cenderung menurun, akibat meningkatnya supply dan melemahnya permintaan," tandasnya. (abi)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
Warga Makin Mudah Lakukan Pembayaran Digital, Transfer Capai Rp 25 Kuadriliun
Target RUU Redenominasi Rupiah Rampung 2027, BI Tegaskan Butuh Persiapan Matang
Surat Utang Global Bikin Cadangan Devisa Meningkat
Banyak yang Belum Tahu, Ingat Transaksi QRIS di Bawah Rp 500 Ribu Gratis Biaya Admin
Ekspor Dinilai Bagus, Tapi Ekonomi Indonesia Hanya Tumbuh 5,5 Persen
Legislator NasDem Rajiv Mangkir dari Panggilan KPK, Pemeriksaan Bakal Dijadwalkan Ulang
Ramai Bantahan Jumlah Dana Pemda Mengendap, Menkeu Purbaya Lempar Tanggung Jawab ke BI
Bantah APBD Jabar Parkir di Bank, Dedi Mulyadi Pegang Bukti Menkeu Pakai Data Lama dari BI
BI Rate Sudah Turun Tapi Bunga Kredit Bank Lambat Turun
BI Tahan Suku Bunga Acuan, Perang Tarif AS Bikin Ekonomi Dunia Melemah