Tiga Tahun Pandemi, Penanganan Tuberkulosis di Indonesia Ikut Terdampak
Selama pandemi COVID-19, angka notifikasi kasus (case notification rate) TB dan dan angka cakupan pengobatan (treatment coverage) menurun. (Foto: Pearl Gan untuk OUCRU Indonesia)
PANDEMI COVID-19 selama tiga tahun tak hanya berdampak pada sektor ekonomi, bisnis, dan pendidikan, tapi juga pada sektor layanan kesehatan itu sendiri. Pandemi mengakibatkan penurunan kemampuan layanan kesehatan menangani tuberkulosis.
Demikian diungkap oleh The Lancet Global Health dalam kajian tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap pengendalian tuberkulosis di Indonesia.
Penelitian itu memaparkan bahwa selama pandemi COVID-19, angka notifikasi kasus (case notification rate) TB menurun sebesar 26%, dan angka cakupan pengobatan (treatment coverage) menurun sebesar 11%.
Meski demikian, tidak ada peningkatan yang signifikan pada kematian semua penyebab, dibandingkan dengan periode sebelum pandemi.
Penelitian ini juga memaparkan bahwa dampak terhadap program pengendalian TB nasional paling terasa di kabupaten/kota dengan kasus COVID-19 tertinggi dan sumber daya layanan kesehatan terendah.
Dr. Raph Hamers, Kepala Clinical Infectious Disease Programme dan peneliti senior OUCRU Indonesia, menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia, ada beberapa faktor kompleks yang mungkin memperburuk layanan penemuan kasus dan pengobatan TB selama pandemi COVID-19. Misalnya tingginya laju infeksi dan kematian terkait COVID-19 pada tenaga kesehatan.
Baca juga:
"Selain itu perubahan perilaku masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan dan pembatasan sementara dalam mengakses layanan kesehatan, serta terganggunya respons imun tubuh pasien terhadap kedua pathogen tersebut pun ikut menjadi faktor yang kompleks," ujar Hamers dalam siaran pers yang diterima Merahputih.com.
Indonesia memiliki beban Pengendalian Tuberkulosis (TB) tertinggi kedua di kawasan Asia. Selain itu, Indonesia masih memiliki predikat sebagai negara yang memiliki beban COVID-19 tertinggi kedua juga se-Asia. Ini sangat berpengaruh terhadap penanganan tuberkulosis.
Hal ini terutama terasa dalam hal kemampuan diagnostik TB, jumlah dokter, dan puskesmas yang terbatas. Ketiga hal tersebut merupakan komponen utama dalam tata kelola TB dan COVID-19.
Dr. Henry Surendra, Epidemiolog di Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) Indonesia dan Associate Professor di Monash University, Indonesia, memaparkan bahwa salah satu kekuatan dari penelitian ini adalah penggunaan data surveilans nasional untuk TB dan COVID-19, indikator pembangunan manusia, kapasitas sistem kesehatan dan jumlah populasi keseluruhan.
"Dari data tersebut ditemukan bahwa kebutuhan terbesar untuk meningkatkan resiliensi sistem kesehatan ada pada kabupaten/kota yang paling rentan terdampak oleh pandemi,” sebut Henry.
Penelitian ini dianggap membantu memahami kerusakan pada sistem kesehatan di Indonesia yang terjadi akibat dari pandemi COVID-19.
Baca juga:
Sudirman Kalah dari Tuberkulosis, Panglima Besar Tidak Pernah Kalah!
"Terlepas dari dampaknya pada penanganan TB, kami mendapatkan informasi tentang adanya kebutuhan untuk meningkatkan ketersediaan GeneXpert, pusat kesehatan masyarakat, dan dokter secara merata di seluruh negeri,” ungkap Prof. dr. Ari Fahrial Syam, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Sementara itu, Dr. Erlina Burhan, Pakar TB dari FKUI sekaligus Ketua Gugus Tugas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia dan Ketua Koalisi Organisasi Profesi Melawan TB Indonesia mengatakan, pandemi mengajarkan pentingnya kolaborasi, inovasi, intervensi dan implementasi dalam pengendalian TB.
"Banyaknya data TB yang tersedia sekarang dapat digunakan untuk meningkatkan intervensi berbasis bukti untuk tatakelola dan pengendalian TB di Indonesia, bergerak menuju eliminasi TB pada tahun 2030,” kata Erlina.
Penelitian ini juga memberikan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan dan praktisi kesehatan yang berupaya mitigasi kedua epidemi itu.
Termasuk juga acuan untuk melakukan investasi struktural lebih lanjut dalam kesiapsiagaan sistem kesehatan yang meliputi akses ke layanan kesehatan berkualitas menuju sistem kesehatan lokal yang resilien. (dgs)
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
SDM Dokter belum Terpenuhi, Kemenkes Tunda Serahkan RS Kardiologi Emirate ke Pemkot Solo
Program Pemutihan BPJS Kesehatan Berlangsung di 2025, ini Cara Ikut dan Tahapannya
Prodia Hadirkan PCMC sebagai Layanan Multiomics Berbasis Mass Spectrometry
Senang Ada Temuan Kasus Tb, Wamenkes: Bisa Langsung Diobati
Momen Garda Medika Hadirkan Fitur Express Discharge Permudah Layanan Rawat Jalan
Cak Imin Imbau Penunggak Iuran BPJS Kesehatan Daftar Ulang Biar Bisa Diputihkan
23 Juta Tunggakan Peserta BPJS Kesehatan Dihapuskan, Ini Syarat Penerimanya
Trik Dokter Jaga Imun: Vitamin, Hidrasi & Tidur Lawan Penyakit Cuaca Ekstrem
Kejar Target, Cek Kesehatan Gratis Bakal Datangi Kantor dan Komunitas
Pengecekan Kesehatan Cepat kini Tersedia di Stasiun MRT Jakarta Dukuh Atas