Sejarah MSG, si Micin yang Disalahartikan


MSG kini mulai dilirik pemilik restoran (Foto: Pexels/Lorena Martínez)
MERAHPUTIH.COM - CALVIN Eng dengan bangga menatokan ‘MSG’ di lengannya. Pemilik restoran Kanton-Amerika di New York, Bonnie’s, itu tak malu-malu mengakuikecintaannya terhadap MSG, si micin yang acap disalahartikan.
“Makanan apa pun lebih enak dengan MSG. Entah masakan Barat ataupun Kanton,” kata Eng kepada CNN. Ia secara terbuka mengakui bahwa ia menggunakan MSG di semua makanan di restorannya. Dahulu, pengakuan Eng seperti sebuah bom yang sudah pasti akan menghalau pengunjung.
BACA JUGA:
Namun, Bonnie’s membuktikan sebaliknya. Restoran ini tercatat sebagai salah satu restoran paling hit di New York. Bonnie’s bahkan memenangi berbagai penghargaan restoran terbaik dari berbagai media. Eng, sebagai pemilik, bahkan digelari best new chefs 2022 oleh majalah Food and Wine. Ia bahkan masuk ke daftar Forbes 30 under 30 pada 2023.
Sebenarnya, apa yang membuat MSG begitu dimusuhi? Mispersepsi bahwa si micin berpengaruh buruk pada tubuh.
Kisah MSG berawal pada 1907, ketika ahli kimia Jepang Kikunae Ikeda menemukan glutamate. Ikeda merebus rumput laut kombu yang kemudian menghasilkan glutamate yang memberikan rasa gurih pada sajian tertentu, seperti kuah dashi.
Ia kemudian menemukan istilah rasa ‘umami’. Ikeda memecah glutamate menjadi MSG, yang kemudian diubah jadi dan bisa digunakan seperti garam dan gula.

Setahun kemudian, pengusaha Saburosuke Suzuki mendapat paten MSG bersama Ikeda. Keduanya kemudian membuat perusahaan Ajinomoto yang memproduksi bumbu penyedap.
Tak butuh waktu lama hingga produk mereka diganjar penghargaan, terutama di kalangan ibu rumah tangga kela menengah di Jepang. Satu dekade kemudian, MSG menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Pihak militer AS bahkan menggelar sebuah simposium setelag Perang Dunia II untuk mendiskusikan bagaimana bumbu penyedap bisa meningkatkan rasa pada ransum militer. Pada akhirnya, tujuannya ialah menaikkan moral prajurit.
Namun, pada 1968, kisah MSG berganti. Seorang dokter AS menulis jurnal yang berjudul ’Sindrom Restoran Tiongkok’. Ia memaparkan gejala seperti mati rasa di belakang leher, kelelahan secara umum, hingga jantung berdebar sebagai gejala yang timbul akibat menikmati masakan restoran Tiongkok. Ia mencurigai bahan masak, seperti arak masak, garam berlebih, dan MSG sebagai penyebabnya.
Dengan tulisan itu, sayangnya, MSG yang paling terdampak. Banyak restoran yang kemudian secara publik menyatakan tak lagi menggunakan MSG. Para konsumen restoran yang merasakan ketidaknyamanan setelah makan selalu menyalahkannya pada MSG.
Namun, kini beberapa chef ternama, seperti Eng, secara terbuka menggunakan MSG dalam sajiannya. Seperti Uncle Roger yang secara lantang menyebut MSG ialah rahasia dari kelezatan makanan.(dwi)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
Remaja China Kencingi Kuah Hotpot, Diharuskan Ganti Rugi Rp 4,7 Miliar

Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

'Demon Slayer: Infinity Castle' Jadi Inspirasi Kolaborasi Menu Minuman Eksklusif

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Jeritan UMKM di District Blok M, Harga Sewa Naik Langsung Bikin Tenant Cabut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran
