KERATON Yogyakarta tercatat sebagai salah satu kerajaan di Indonesia yang mempunyai warisan budaya berupa benda dan tak benda yang bernilai tinggi. Dari karya sastra, benda-benda pusaka atau kebesaran Keraton, upacara adat, kesenian, sampai kuliner tradisional. Di sebalik kegemilangan sejarah Keraton Yogyakarta, ada satu masa kelam yang pernah dialami Keraton Yogyakarta.
Masa itu berlangsung pada 1812-1822 dan diawali oleh penyerbuan tentara Sepoy atau Sepehi dari India ke Keraton Yogyakarta pada 18-20 Juni 1812. Tentara ini tergabung dalam batalion sukarelawan Benggala pasukan Inggris. Penyerbuan ini bertujuan mengukuhkan kekuasaan Inggris di Jawa.
"Dalam babad-babad Jawa peristiwa ini dikenal sebagai 'Geger Sepoy' atau Komplotan Sepoy, tentara sewaan India dari Inggris, dan ia adalah sebuah pralambang bagi kekuasaan Inggris di India maupun bagi Indonesia," catat Peter Carey dalam Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh.
Pasukan Sepehi berhasil menaklukkan Keraton Yogyakarta. Akibat penyerbuan ini, Keraton Yogyakarta tunduk pada Inggris. Penyerbuan juga membuat banyak benda budaya, kekayaan material, serta pusaka keraton dijarah habis-habisan oleh prajurit Sepoy. Jejaknya tidak banyak ditemukan lagi.
Baca juga:
Peringati Sumpah Pemuda, Keraton Yogyakarta Gelar Pentas Musik Kebangsaan Daring

Untuk mengenang kembali bagaimana makna dan pengaruh penyerbuan itu pada kehidupan di Yogyakarta, Keraton Yogyakarta menggelar pameran bertajuk "Sumakala: Dasawarsa Temaram Yogyakarta".
Pengageng KHP Nitya Budaya Keraton Yogyakarta, GKR Bendara, menjelaskan pameran yang menggambarkan masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III dan Sri Sultan Hamengku Buwono IV itu akan dibuka pada 28 Oktober 2022 di Kompleks Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta.
"Momentum ini upaya Keraton Yogyakarta untuk merekonstruksi ulang kisah-kisah Sultan terdahulu," ujar GKR Bendara dalam keterangannya, seperti dikutip Antara, Selasa (17/10).
Bendara menuturkan bahwa pameran akhir tahun yang dihelat Keraton Yogyakarta itu juga mendorong penarasian kembali pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III dan Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Dia mengatakan pascaperistiwa Geger Sepehi, Keraton Yogyakarta mengalami masa yang temaram.
Berbagai desakan politik dari Pemerintahan Inggris terhadap Sultan Hamengku Buwono III berdampak ketidakstabilan perekonomian. Sebab, seluruh biaya perang yang ditimbulkan akibat gempuran Inggris ke Yogyakarta harus ditanggung oleh Keraton Yogyakarta.
Sementara itu, kondisi karut-marut tersebut harus disaksikan oleh GRM Ibnu Djarot, putra mahkota yang masih belia.
Klimaksnya, pangeran harus menyaksikan ayahandanya meninggal setelah dua tahun bertakhta. Dia, sebagai putra mahkota yang kala itu masih berusia 10 tahun, harus menggantikan kedudukan Sultan dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono IV.
Baca juga:
Putri Keraton Yogyakarta Ungkap Peran Penting Perempuan dalam Tugas Kerajaan

"Meskipun kedua Sultan, yakni Sultan ketiga dan Sultan keempat mengalami kondisi yang sulit, tetapi berbagai prestasi dalam pemerintahan maupun pembangunan kebudayaan di keraton turut disumbangkan," ujar Bendara.
Beberapa karya pada masa kedua Sultan itu yang masih bisa dijumpai sampai sekarang antara lain tari Bedhaya Durmakina, Babad Ngayogyakarta, dan kereta-kereta kebesaran dari masing-masing Sultan.
Putri Sultan Hamengku Buwono X ini mengakui pameran "Sumakala" tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Keraton Yogyakarta dan tim pameran. Sebab, pascaperistiwa Geger Sepehi (1812), keraton yang megah harus porak-poranda.
Sementara, benda budaya, kekayaan material, hingga pusaka yang dimiliki keraton kala itu dijarah habis-habisan oleh prajurit Sepoy.
"Sumber-sumber mengenai pemerintahan keraton pada awal abad ke-19 praktis tidak banyak ditemukan. Di sinilah keraton mencoba membaca ulang sejarah semasa 1812-1822 dan mewujudkannya dalam bentuk visual," kata Bendara.
Dalam rangkaian pameran itu, berbagai kegiatan pendukung juga akan digelar. Mulai napak tilas kediaman putra mahkota, menjelajahi ruas penyerangan Geger Sepehi, hingga berbagai diskusi dan lokakarya yang berkaitan dengan tema pameran.
"Sebagai institusi budaya sekaligus museum yang inklusif, Keraton Yogyakarta juga menggandeng komunitas untuk bekerja sama dalam penyelenggaraan pameran," kata Bendara. (dru)
Baca juga:
Museum Kesejarahan Jakarta dan Kunstkring Gelar Pameran Jejak Memori Rijsttafel