Tao Toba Nauli

Mengecap Manisnya Tuak, Menyelami Kehidupan Orang Batak

Zaimul Haq Elfan HabibZaimul Haq Elfan Habib - Selasa, 09 Oktober 2018
Mengecap Manisnya Tuak, Menyelami Kehidupan Orang Batak
Petani menyadap tuak dari pohon enau/aren. (Foto/batakgaul.com)

SORE baru saja meninggalkan siang. Begitu juga dengan para petani di kecamatan Balige, sebelah selatan danau Toba, khususnya desa Lintong Ni Huta, Tapanuli Utara. Mereka meninggalkan ladang menuju sebuah kedai. Orang sana sering menyebutnya Lapo.

Di sana, mereka berbincang-bincang, menyanyi, bermain kartu, bercatur dan menonton televisi, sambil minum tuak. Hal ini lumrah dilakukan di daerah Tapanuli Utara.

Suasana di Lapo. (Foto/YouTube.com)
Suasana di Lapo. (Foto/YouTube.com)

"Pada umumnya seorang petani biasa minum tuak beberapa gelas sehari," tulis Ikegami, Shigehiro dalam laporannya dengan judul 'Laporan Singkat tentang Aspek Sosial-budaya Penggunaan Nira 1997'.

Penelitian Shigehiro yang dilakukan pada 1997 ini juga membahas tentang kebiasaan minum tuak orang Batak Toba di perantauan. Ia menjelaskan, para perantau generasi pertama yang berasal dari Tapanuli Utara lebih cenderung minum tuak.

"Bukan hanya orang-orang yang berstatus rendah sosial-ekonominya seperti tukang becak, tetapi yang agak tinggi stasus sosial-ekonominya seperti pegawai negeri juga minum tuak," tulis Shigehiro.

Tuak dalam Upacara Adat

Penggunaan tuak di desa Lintong Ni Huta sejatinya berasal dari tradisi setempat. Tuak pernah dipakai dalam acara-acara adat, khususnya upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Hal ini merujuk pada cerita 'Legenda Batang Bagot' di daerah setempat.

"Putri si boru Sorbajati dipaksa orang tuanya kawin dengan seorang laki-laki cacat yang tidak disukainya. Tetapi karena tekanan orang tua yang sudah menerima uang mahal, si boru Sorbajati meminta agar dibunyikan gendang di mana dia menari dan akan menentukan sikap. Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke halaman sehingga terbenam ke dalam tanah. Kemudian dia menjelma tumbuh sebagai pohon bagot, sehingga tuak itu disebut aek (air) Sorbajati."

Karena perbuatan yang membunuh diri itu dianggap sebagai perbuatan terlarang, maka tuak tidak dimasukkan pada sajian untuk Dewata. Tuak hanya menjadi sajian untuk roh-roh nenek moyang, orang yang sudah meninggal dan sebagainya.

Wanita Minum Tuak

Tuak di desa Lintong Ni Huta ternyata tak hanya di konsumsi laki-laki dan upacara adat saja. Perempuan pun juga ikut minum tuak. Namun, tempat dan waktunya sudah di tetapkan. Biasanya, perempuan yang baru melahirkan dianjurkan minum tuak agar memperlancar air susunya dan berkeringat banyak guna mengeluarkan kotoran-kotoran dari badannya.

"Selama saya berada di desa Lintong Ni Huta, seorang wanita muda melahirkan anak. Mertuanya menyediakan tuak untuk wanita tersebut, dan dia minum tuak setiap kali merasa haus. Dia minum tuak sebagai gantinya air minum, selama paling sedikit satu minggu setelah melahirkan anak," ungkap Shigehiro.

Meskipun begitu, tak semua wanita Batak Toba yang baru melahirkan anak minum tuak. Wanita-wanita yang tinggal di kota-kota di perantauan seperti Medan biasanya tidak minum tuak, walaupun melahirkan anak. Mereka lebih cenderung minum bir hitam, susu atau obat sesuai dengan kemampuannya dan kesukaannya untuk memperlancar air susunya. (*)

Baca Juga: Wisata Sembari Mengenal Adat Batak di Museum Batak Tomok

#Batak #Suku Batak #Tradisi Batak #Tao Toba Nauli
Bagikan
Ditulis Oleh

Zaimul Haq Elfan Habib

Low Profile
Bagikan