Hari Mencuci Tangan Sedunia

Mencuci Tangan, dari Saran Medis Kontoversial ke Standar Kesehatan Umum

Dwi AstariniDwi Astarini - Jumat, 15 Oktober 2021
Mencuci Tangan, dari Saran Medis Kontoversial ke Standar Kesehatan Umum
Sejarah panjang mencuci tangan.(pexels.com ketut subiyanto)

DI hari-hari belakangan ini, mencuci tangan menjadi sebuah aktivitas kecil yang wajib dilakukan siapa pun. Dengan adanya pandemi COVID-19, pentingnya mencuci tangan makin dirasakan. Mencuci tangan dipercaya merupakan cara terbaik menjaga diri dari penyakit. Kemunculan COVID-19, disebut Kids Health, menjadikan kegiatan mencuci tangan dengan sabun menjadi sangat penting. Bukan mencegah penyebaran COVID-19, mencuci tangan juga menangkal penyakit seperti flu, hepatitis A, bronkiolitis, meningitis, dan berbagai bakteri penyebab diare.

Namun, 130 tahun lalu, ceritanya amatlah berbeda. Meski mencuci tangan untuk kegiatan religius sudah dikenal sejak ribuan tahun dalam agama Islam, yahudi, dan budaya lainnya, ide bahwa penyakit bisa menyebar lewat sentuhan tangan baru diketahui 130 tahun lalu.

BACA JUGA:

Kenali Waktu Wajib Cuci Tangan Pakai Sabun

Namun sayang, ketika 50 tahun kemudian, tepatnya pada 1848, mencuci tangan diidentifikasi sebagai kekuatan untuk menyelamatkan nyawa, kenyataan itu tak serta-merta disambut baik. Penolakan besar-besaran terjadi.

Penemuan mencengangkan Ignaz Semmelweis

ibu melahirkan
Banyak ibu meninggal setelah menjalani persalian sebelum mengenal cuci tangan. (pexels.com jonathan borba)


"Jika ada gelar bapak mencuci tangan, Ignaz Semmleweis amat pantas menerimanya," kata profesor biologi di William Paterson University, New Jersey, AS, Miryam Wahrman, seperti dilansir The Guardian.

Kisah Semmelweis menemukan penyelamat hidup bernama mencuci tangan bermula dari kasus kematian ibu melahirkan akibat demam nifas. Pada 1840-an di Eropa, seperti disebut National Geographic, banyak ibu baru melahirkan yang meninggal karena penyakit yang dikenal sebagan demam nifas atau demam melahirkan. Bahkan meski ditangani di bawah perawatan medis terbaik sekalipun, para ibu bisa jatuh sakit dan meninggal tak lama setelah melahirkan. Semmelweis, seorang dokter di Hungaria, tertarik dengan masalah itu. Ia lalu mencari asal-usulnya.

Penelitian ia mulai di bangsal bersalin yang ada di Rumah Sakit Umum Wina di Austria. Rumah sakit itu memiliki dua bangsal bersalin terpisah. Satu dikelola para dokter, sedangkan lainnya ditangani bidan perempuan. Semmelweis memerhatikan angka kematian akibat demam jauh lebih rendah pada kelahiran yang ditangani. Sementara itu, jumlah perempuan di bawah perawatan dokter dan mahasiswa kedokteran meninggal lebih dari dua kali lipat ketimbang pasien bidan.

Atas temuan itu, ia membuat sebuah hipotesis. Semmelweiss menyelidiki apakah posisi tubuh perempuan saat melahirkan yang menjadi sumber pembeda. Dia mempelajari apakah rasa malu diperiksa dokter laki-laki menyebabkan demam. Mungkin, pikirnya, para pendeta yang merawat pasien yang sekarat karena demam membuat para ibu baru ketakutan setengah mati. Semmelweis menilai setiap faktor dan kemudian mengesampingkannya satu per satu.

Di tengah pengamatannya, Semmelweis melihat bagaimana para dokter beraktivitas di pagi hari, mengamati dan membantu siswa kedokteran melakukan autopsi sebagai bagian dari pelatihan medis. Setelah itu, pada sore hari, para dokter dan mahasiswa bekerja di bangsal bersalin untuk memeriksa pasien dan membantu melahirkan bayi. Tanpa mencuci tangan atau melakukan pembersihan diri.

Semmelweis kemudian mencoba membandingkan mana pasien yang dirawat tanpa prosedur cuci tangan dan dengan cuci tangan. Secara mengejutkan, ia menemukan para perempuan yang dirawat tanpa prosedur cuci tangan terinfeksi kuman dan meninggal karena demam.

Pada 1847, Semmelweis akhirnya menerapkan kewajiban cuci tangan di antara para mahasiswa dan dokter yang bekerja untuknya di Rumah Sakit Umum Wina. Semmelweiss menggunakan larutan kapur terklorinasi karena benar-benar menghilangkan bau busuk yang menempel di tangan para dokter dan sabun biasa. Para staf rumah sakit di bawah Semmelweis membersihkan diri dan peralatan mereka dengan sabun. Hasilnya, tingkat kematian di bangsal bersalin menurun. "Sebelum eksperimen itu, tingkat kematian ibu melahirkan mencapai 18%. Namun, standar kebersihan tangan yang diterapkan Semmelweis menurunkannya menjadi hanya 1%," jelas Wahrman.

Ide baru yang ditentang keras

mencuci tangan
Awalnya, ide mencuci tangan amat ditentang.(Foto Unsplash cdc)


Meski eksperiman itu sukses, para dokter tak mau mengakuinya. Ide mencuci tangan dapat menyelamatkan nyawa pasien langsung ditentang. Bahkan dari kalangan dokter sendiri.

"Bagian utama dari penolakan ini ialah fakta bahwa orang tak menyadari bahwa tubuh mereka selayaknya cawan petri dengan berbagai kuman dan bakteri di dalamnya," jelas profesor sejarah di Stony Brook University, New York, AS, Nancy Tomes, dikutip The Guardian.

Menurut Tomes, di masa itu, para dokter berasal dari kalangan menengah dan kelas atas. Mereka terbiasa dengan ide bahwa tubuh mereka bersih dan bebas kuman. Berbeda dengan mereka yang berasal dari kalangan bawah. "Jadi itu dianggap sangat menghina dan merendahkan ketika disebutkan bahwa tangan mereka bisa saja kotor," imbuhnya.

Akibat penolakan itu, Semmelweis mengalami perisakan. Dalam perjalanannya, ia mengalami penurunan kondisi mental yang amat drastis. Meski demikian, selama 40 tahun sejak temuan Semmelweis, pemahaman tentang kuman kian berkembang. Akibatnya, sikap dan pandangan terhadap kebersihan pun berubah.

Pada 1857, ketika kesehatan mental Semmelweis menurun, Louis Pasteur, yang terkenal dengan pasteurisasi, meningkatkan kesadaran publik akan patogen dan cara membunuhnya dengan panas. Setelah itu, pada 1876, ilmuwan Jerman Robert Koch menemukan basil antraks, memulai bidang penelitian baru bakteriologi medis. Kolera, TBC, difteri, dan basil tifoid pun kemudian diidentifikasi.


Pembiasaan untuk kesehatan di masa depan

cuci tangan
Mencuci tangan dengan sabun sangatlah penting untuk membunuh kuman (pexels.com cottonbro)

Pengetahuan manusia tentang bakteri, kuman, dan virus sudah sedemikian berkembang sejak masa Semmelweis. Di saat yang sama, pemahaman tentang kebersihan diri juga ikut menyebar luas. Namun, kebiasaan mencuci tangan masih butuh dipromosikan.

Wahrman yang juga penulis buku The Hand Book: Surviving in a Germ-Filled World mengungkap sebuah penelitian pada 2009 yang diterbitkan di American Journal of Infection Control, menyatakan bahwa kesadaran mencuci tangan masih amat rendah. “Setelah buang air kecil, sebanyak 69% perempuan mencuci tangan, dan hanya 43% pria yang melakukannya. Untuk urusan buang air besar, sebanyak 84% perempuan dan 78% pria mencuci tangan. Dan sebelum makan, waktu penting untuk mencuci tangan, hanya 10% pria dan 7% perempuan yang mencuci tangan,” katanya.

Sebagai upaya menggalakkan kebiasaan mencuci tangan, Global Handwashing Partnership menginisiasi Hari Mencuci Tangan Sedunia yang ditetapkan setiap 15 Oktober. Ajang ini pertama kali digelar pada 2008. Ketika itu, lebih dari 120 juta anak dari 70 negara di dunia mencuci tangan secara serempak.

Sejak saat itu, komunitas dan pemimpin nasional menggunakan Hari Mencuci Tangan Sedunia untuk mengampanyekan pentingnya, urgensi, dan manfaat mencuci tangan.

Tahun ini, dengan adanya pandemi, kita kembali diingatkan betapa mencuci tangan akan menyelamatkan nyawa sendiri dan orang sekitar kita. Untuk itulah, di Hari Mencuci Tangan Sedunia tahun ini, diangkat tema Masa depan ada di tangan--Ayo, melangkah maju bersama. Harapannya, makin banyak orang, organisasi, hingga perusahaan yang bergabung untuk membiasakan mencuci tangan.(jhn)

#Kesehatan
Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.
Bagikan