ISTANA Maharaja Garbak Jagat geger. Mustika di kepala pendeta Durna hilang. Putranya bernama Aswatama mencuri lalu pergi terbang dari istana.
“lakunya seperti angin, lebih cepat dari kereta angin nan tempo ada di tanah lapang Gambir pada tahun 1890, serta menuju negeri Ngastina dengan terburu-buru adanya,” tulis Muhammad Bakir pada karya gubahannya Hikayat Maharaja Garbak Jagat, selesai disalin pada 19 November 1892.
Baca Juga:
Sungguh aneh bin ajaib membandingkan kecepatan terbang Aswatama dengan kereta di Gambir pada 1890. Kejanggalan tersebut akan selalu tampak pada cerita wayang gubahan Muhammad Bakir.
Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli merupakan sastrawan klasik Betawi. Bakir tersohor sebagai penyalin manuskrip dan pengelola taman bacaan di Gang Langgar Tinggi, kini kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat.

Dari 70 judul manuskrip koleksi taman bacaannya, terdapat 28 judul naskah hasil kreasinya. Di kawasan Pecenongan memang menjadi lokasi subur para penyalin naskah klasik. Selain Bakir, ada pula setidaknya Untung bin Akir, Kirman, dan Ence Musa.
Di antara para penyalin dan penggubah tersebut, Bakir menjadi sosok paling menonjol lantaran kekhasan pada cerita wayang gubahannya.
Cerita wayang kreasi Bakir, menurut peneliti Naskah Pecenongan Dewaki Kramadibrata, memiliki ciri khas memasukkan peristiwa atau hal-hal baru pada masanya ke dalam kisahan.
Maka, di dalam cerita wayang gubahan Bakir, sambungnya, tak perlu heran jika ada tokoh wayang mampir ke Bekasi, Pasar Baru, Gunung Gede, dan Banjarnegara. “Hal itu bertujuan untuk memberikan aspek realis dalam cerita fiksi karyanya,” kata pengajar Program Studi Indonesia FIB UI tersebut kepada Merahputih.com.

Selain kereta di stasiun Gambir, hal baru turut hadir di dalam karyanya tak lain minyak Sikwa. Pada teks Wayang Arjuna, Bakir mengisahkan Dewa Surya dan tiga batara lain bisa sembuh dari sakit lantaran meminum air pemberian Semar. “Maka heranlah dirinya keempat batara itu melihat air itu terlebih manjur dari pada minyak Sikwa datang di Betawi pada tahun 1892 pada bulan Juni, berbenturan bulan Hapit 1309. Maka inilah satu peringatan datangnya minyak itu,” tulis Bakir menyerat kekhasannya.
Baca Juga:
Kejanggalan atau di luar pakem cerita wayangnya, lanjut Dewaki, memberi efek jenaka dari hal-hal kontras, seperti menyinggung letusan Gunung Krakatau, pengemis Betawi, Lapangan Gambir, dan Dursasana mengharumkan tubuhnya dengan minyak Cologne.
Selain itu, kekontrasan lain digunakan Bakir dengan mepertentangkan keluhuran tokoh pada cerita wayang atau dewa digambarkan memiliki polah serupa manusia biasa. Dalam Hikayat Sampurna Jaya, Bakir menggambarkan Durna harus pontang-panting setelah tidurnya tetiba dibangunkan Ranggada karena ada maling, padahal di kahyangan.

“Wak, wak, bangun marilah menangkap maling jikalau tiada uwak nan menangkap siapa lagi. Lalu bangunlah Durna dengan mengucek-ngucek matanya riap-riap dan menggaruk-garuk rambutnya".
Dalam menggubah cerita wayang, Bakir terkadang menulis dari hasil kreasinya selain dengan bantuan cerita dari seorang dalang di Kampung Pajagalan, Pasar Senen, seperti pada Hikayat Asal Mulanya Wayang dan Hikayat Gelaran Pandu Turunan Pandawa.
Naskah-naskah tersebut biasanya di masa itu disewa lalu dilafalkan keras-keras di hadapan orang banyak. Maka, unsur tiruan bunyi menjadi penting pada pembuatan cerita. Bakir acap menaruh tiruan bunyi, seperti “serawat-seriwit” bunyi anak panah, dan “kelatak kelatik kelatuk” bunyi tulang patah sehingga menimbulkan unsur jenaka. (*)
Baca Juga: