Film

Intip Budaya Kuliner Yogyakarta dari Film Dokumenter 'Street Food: Asia'

Ikhsan Aryo DigdoIkhsan Aryo Digdo - Senin, 08 November 2021
Intip Budaya Kuliner Yogyakarta dari Film Dokumenter 'Street Food: Asia'
Makanan kaki lima Yogyakarta. (Foto: Instagram/@ryanhdyt)

DIBUKA dengan manisnya kisah seorang penjual jajanan Yogyakarta yang sudah sepuh dan kentalnya gula merah Jawa. Film dokumenter Street Food Asia pada salah satu episodenya yang berjudul Yogyakarta, Indonesia memperlihatkan indahnya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan Yogyakarta sebagai jantung Jawa. Di Indonesia, hanya Yogyakarta, daerah yang masih dipimpin sultan, sehingga mereka sangat bangga dengan budaya tradisional mereka.

Dalam film dokumenter ini, Yogyakarta diketahui masih menjalani tradisi leluhur mereka dan hal ini terlihat dari makanan kaki lima mereka. Makanan kaki lima mewakili masyarakat dan budayanya. Misalnya saja gudeq yang dibuat dari semur nangka, gado-gado yang dibuat dari sayuran dan saus kacang, bakso, nasi goreng, jajanan pasar yang biasanya dibuat dari gula aren, ketan, singkong, dan kelapa.

Baca Juga:

Starter Pack Mahasiswa Jurusan Film Negeri Aing

Salah satu tokoh yang disorot oleh dokumenter ini adalah Mbah Satinem. Ia disebut sebagai ahli jajanan pasar karena sudah menekuni hal ini selama lebih dari 50 tahun. Menggunakan resep dan cara pembuatan yang sangat klasik, ia bahkan masih memotong menggunakan benang di tangannya. Gula Jawanya sangat kental dan terasa sangat autentik. Hal ini menunjukkan ciri khas makanan tradisional yang tidak tertandingi.

Mbah Satinem, salah satu penjual jajanan pasar di Yogyakarta. (Foto: Instagram/@ryanhdyt)

Di rumah tuanya, Mbah Satinem mempersiapkan semua dagangannya sendiri dengan tangan kosong. Cara pembuatannya juga masih sangat tradisional, ia mengayak adonan sendiri dan menggunakan tungku api yang pembakarannya menggunakan kayu. Setiap harinya, ia bangun tengah malam dan dibantu oleh suami serta putrinya untuk memasak. Suaminya bertugas membantu menyalakan tungku api. Mbah Satinem akan kesal jika suaminya telat bangun karena setiap kali mereka telat, mereka jadi tidak bisa berjualan.

Pukul 05.30 pagi, putrinya akan mengantar Mbah Satinem naik sepeda motor. Sudah sekian lama kegiatan ini Mbah Satinem lakukan untuk menghidupi suami, anak-anak dan cucunya. Dirinya turun dari sepeda motor tanpa menggunakan alas kaki dan mempersiapkan semua dagangannya di trotoar. Hal ini ia pelajari dari ibunya yang dahulu berkeliling menggendong dagangannya menggunakan selendang hingga habis terjual. Ia mencontoh semua yang diajari ibunya setiap hari hingga saat ini.

Jajanan pasar Mbah Satinem diketahui juga memikat hati mantan Presiden kedua Indonesia, yaitu Soeharto. Mbah Satinem berkata bahwa suatu hari ia menerima kabar bahwa Soeharto memesan jajanan pasar miliknya. Setelah mencoba jajanan pasar Mbah Satimen, Soeharto kemudian menjadi pelanggan setianya dan hal ini membuat Mbah Satinem memperoleh kepopulerannya hingga hari ini. Para pelanggan bahkan rela antri hingga berjam-jam hanya untuk mencoba jajanan pasar miliknya.

Baca Juga:

Nonton Film Horor di Bioskop Buat Modus ke Gebetan? Valid No Debat

Arya Snack & Food menjual jajanan pasar modern. (Foto: Instagram/@momikulinerjogja)

Di sisi lain, ada generasi baru yang memodernisasi jajanan pasar yang telah dipengaruhi dengan masakan lain seperti masakan Tiongkok, Portugis, atau Belanda yang warna dan jenisnya lebih menarik. Arya Snack & Food adalah penjual jajanan pasar tradisional yang sudah disesuaikan dengan generasi baru. Dalam sehari mereka bisa membuat beraneka ragam jajanan pasar yang jumlahnya lebih dari 200 buah.

Menurut mereka, jajanan pasar cocok untuk semua kegiatan dan acara karena warnanya dan rasanya yang sangat beragam. Bahkan secara tradisional, jajanan pasar juga ditujukan untuk melamar seseorang atau mempunyai istilah agar lengket dengan orang tersebut, sehingga bahannya kebanyakan menggunakan ketan. Ada juga yang ditujukan untuk suasana duka.

Arya Snack & Food sebenarnya masih membuat jajanan pasarnya secara tradisional dengan menggunakan tangan secara langsung, hanya saja ada beberapa hal yang diadaptasi untuk mempercepat proses produksi. Misalnya saja cara memasak yang sudah menggunakan tungku gas atau kompor dan bukan lagi menggunakan kayu bakar ataupun arang. Dengan begitu, mereka bisa memproduksi jumlah pesanan lebih banyak dan memotong waktu produksi yang terlalu lama.

Berbeda dengan Mbah Satinem yang masih berjualan di trotoar dengan menggunakan bakul dan daun pisang, Arya Snack & Food berjualan di toko dalam ruko. Mereka juga memiliki beberapa karyawan.


Makanan kaki lima lain yang mencerminkan ciri khas Yogyakarta adalah Gudeg atau semur nangka. Buah nangka sering digunakan untuk masakan di Yogyakarta dan masakan nangka yang paling populer adalah gudeg.

Film dokumenter ini memperlihatkan bagaimana buah nangka diolah menjadi suatu kuliner khas yang lezat dengan cara disemur bersama rempah-rempah lainnya. Semur nangka atau gudeg biasanya disajikan dengan daging dan telur. Makanan ini mempunyai rasa dominan manis yang dihasilkan dari buah nangka. Kamu bisa menemukan Gudeg diseluruh sudut kota Yogyakarta.

Contohnya Mbah Lindu, pemilik 'Gudeg Mbah Lindu' yang sudah berusia 100 tahun. Resep yang dia gunakan sudah turun temurun dari neneknya. Ia menggunakan metode dan bahan-bahan yang sama. Tidak ada resep yang berubah karena hal itu dianggap sebagai penistaan terhadap budaya jika dilakukan. Meskipun sudah sangat sepuh, Mbah Lindu tetap kuat menjajakan gudegnya dan bahkan sangat ramai pelanggan.

Yogyakarta memiliki peran unik di Indonesia. Kota ini dikenal sebagai lorong masa lalu yang penuh budaya. Hal ini terlihat dari para penjual makanan kaki limanya yang kebanyakan berusia 70, 80, 90 hingga ada yang berusia 100 tahun seperti Mbah Lindu. (tel)

Baca Juga:

Nostalgia Nonton Bioskop Sebelum Pandemi, Sampai Rela Bolos!

#November Jagoan Film Negeri Aing #Kuliner #Kuliner Indonesia
Bagikan
Ditulis Oleh

Ikhsan Aryo Digdo

Learner.
Bagikan