SEMUA manusia punya kebutuhan, dan untuk mendapatkannya, kita perlu berbelanja. Kita membutuhkan pakaian, makanan, transportasi, interaksi sosial, dan mungkin barang-barang lain seperti komputer, telepon seluler, peralatan, buku, dan keperluan untuk melaksanakan tugas sehari-hari. Kita juga butuh terlibat dalam kegiatan yang mendatangkan kegembiraan. Namun, bagi sebagian orang, kebiasaan berbelanja bisa menjadi masalah.
Ada orang yang beralih ke alkohol, obat-obatan, atau makanan untuk bersantai, menenangkan diri, atau memendam perasaan dan pikiran yang tidak nyaman, seperti kecemasan, stres, dan suasana hati yang buruk.
Ada pula lain mencari kenyamanan dalam perilaku yang menyenangkan, seperti berjudi atau berbelanja. Sama seperti kebiasaan menggunakan zat adiktif, perilaku yang mematikan perasaan tidak menyenangkan atau tidak nyaman juga bisa menjadi masalah dengan dampak yang menghancurkan.
"Seorang individu dengan kecanduan adalah seseorang yang menggunakan suatu zat, atau terlibat dalam suatu perilaku, yang efeknya memberikan insentif yang kuat untuk mengulangi aktivitas tersebut, meskipun ada konsekuensi yang merugikan," ujar psikolog klinis Monica Vermani, C. Psych yang spesialisasinya di bidang terapi trauma, stres, dan gangguan kecemasan.
Baca Juga:

Perilaku kompulsif
Belanja kompulsif yang berulang, keasyikan berlebihan atau kontrol impuls yang buruk dengan belanja, dan konsekuensi yang merugikan. Seperti konflik dalam pernikahan dan masalah keuangan, tidak diakui sebagai kecanduan klinis. Namun, menurut Vermani, bagi sebagian orang, hal itu dapat mendatangkan dampak yang serupa.
"Belanja bermasalah memiliki banyak bentuk, mulai dari belanja berlebihan, pembelian boros berulang kali, atau pembelian daring yang tidak terkendali," tulisnya dalam artikel Psychology Today.
Menurutnya, pembelian impulsif atau kesenangan sesekali tidak belum tentu bermasalah, tapi belanja daring secara impulsif sepanjang waktu, seperti yang makin meningkat selama pandemi, pasti mendatangkan masalah.
"Orang-orang yang terlibat dalam belanja bermasalah sering menyembunyikan pembelian mereka dari orang lain, dan menghabiskan waktu untuk memikirkan atau merencanakan belanja yang harus fokus pada pekerjaan atau tugas kehidupan," dia menjelaskan.
Perilaku belanja bermasalah lainnya, yang dikenal sebagai bulimia belanja, berlangsung seperti siklus: belanja, merasa senang, mengalami penyesalan setelah efek dari pembelian mereda, dan kembali melakukan pembelian, begitu seterusnya.
Baca Juga:

Sadar masalah
Sementara DSM tidak mengenali belanja kompulsif atau bulimia belanja sebagai kecanduan klinis. Perilaku ini dapat membuat kamu bangkrut dan menjauhkan diri dari orang-orang yang peduli. Kemudian menjerumuskan kamu dalam harga diri yang rendah, dan membawamu untuk menerima lebih sedikit potensi pemenuhan dan kebahagiaan dalam hidup.
"Jika kamu mengenali diri sendiri dan beberapa perilaku diri sebagai masalah, selamat! Sebagai psikolog klinis, saya dapat memberi tahu, tanpa kecuali, bahwa kesadaran adalah langkah pertama untuk membebaskan diri dari perilaku berbahaya," kata Vermani.
Menurutnya, untuk melepaskan diri dari belanja bermasalah, kamu harus terlebih dahulu menyadari dan mengakui bahwa ada masalah. Kamu kemudian dapat memilih untuk berubah. Mulailah dengan mengenal pemicu yang menyebabkan masalah belanja.
"Ketika kamu memperhatikan pikiran, suasana hati, dan sensasi yang memicu keinginan untuk berbelanja, kamu mulai membangun kesadaran di sekitar perasaan tidak nyaman, gelisah, atau tertekanmu," dia menyarankan.
Dengan kesadaran, kasih sayang, dan waktu ini, kamu dapat mengganti perilaku belanja negatif dengan aktivitas lain yang memberimu rasa tenang atau bahagia. Jika, belanja kompulsifmu telah menyebabkan masalah keuangan, kamu dapat mulai mengatasi masalah ini secara langsung.
"Dan jika perilaku belanja kamu berasal dari masalah emosional atau kondisi kesehatan mental yang lebih dalam, kamu dapat mencari bantuan profesional kesehatan mental," demikian Vermani. (aru)
Baca Juga: