PERNAHKAH kamu merasakan dorongan untuk membeli sesuatu setelah melihat seorang influencer memakainya? Tenang saja, kamu tidak sendirian. Kamu dan ribuan orang lainnya di luar sana merasakan hal yang sama.
Seringkali kita tergiur dengan barang-barang yang belum tentu sebenarnya dibutuhkan. Alasannya sepele, hanya karena kita melihat video singkat 15 detik yang berisikan ulasan produk berdasarkan pengalaman pribadi influencer. Alhasil tanpa disadari kita tahu-tahu sudah terjebak ke dalam overconsumption.
Jika kamu salah satu orang yang sering menjumpai video ulasan produk, mungkin kamu juga lazim menemukan ulasan yang kurang baik. Biasanya video tersebut berisi alasan kenapa kamu tidak harus membeli produk ini dan menyediakan opsi produk lain.
Tahukah kamu bahwa itu bukan sekadar ulasan biasa, tetapi sebuah fenomena yang dinamakan de-influencing? Seperti namanya, de-influencing berarti lawan dari influence, isinya konten-konten yang memberi tahu apa yang tidak seharusnya kamu beli dan apa yang tidak berfungsi berlawanan apa yang dikatakan para influencer.
Baca juga:

Millie Bobby Brown melakukan demo skincare palsu. (Foto: YouTube)
Influencer kebanyakan siap sedia mempromosikan produk tanpa pandang bulu demi mengisi kantong mereka. Maka dari itu, kredibilitas mereka patut dipertanyakan lantaran kerap influencer tertangkap basah memalsukan endorsement mereka, contohnya saja Millie Bobby Brown dan Kylie Jenner. Keduanya meng-endorse produk skincare, tetapi faktanya mereka tidak benar-benar memakai skincare yang dipromosikan.
Video de-influencing biasanya berisi ulasan konsumen yang kecewa, beauty guru yang berwawasan, dokter kecantikan yang mengedukasi agar tidak terjebak mitos, hingga mantan karyawan ritel nge-spill produk mana yang paling sering dikembalikan oleh pelanggan.
Para de-influencer mengklaim mereka autentik, lantaran jujur apa adanya dan mengungkap omong kosong yang berbanding terbalik dari realitanya.
Istilah de-influencing diketahui berawal dari seorang beauty influencer yang pernah bekerja di Sephora dan Ulta bernama Maddie Wells. Ia mengunggah videonya di Tiktok pada 2020 dan memberi tahu para pengikutnya tentang produk yang paling banyak dikembalikan pelanggan saat ia dulu bekerja di ritel kencantikan.
Dalam unggahannya ia menyarankan mereka untuk tidak mengikuti hype lantaran produk-produk yang dikembalikan tidak benar-benar memberikan efek layaknya klaim produk.
Baca juga:

Meski de-influencing terdengar meyakinkan dengan embel-embel autentiknya, nyatanya ini tidak sejujur apa yang diklaim. Menurut The Wall Street Journal, beberapa influencer memberi tahu Rolling Stone bahwa de-influencing adalah salah satu gaya endorsement baru.
Salah satu influencer bernama Isaias Hernandez mengatakan, bahwa de-influencing hanyalah gaya baru untuk mengemas suatu produk agar berkesan lebih ramah lingkungan. Hal ini benar adanya.
Mengutip majalah TIME, de-influencing yang seharusnya dapat mengurangi konsumsi belanja berlebihan justru tidak mengubah apapun. Video de-influence tidak cukup untuk mengubah kebiasaan overconsumption lantaran dalam video tersebut pasti para creator akan menyarankan pembelian dupe atau barang yang mirip yang menyebabkan penonton berakhir membeli produk lain.
Sejauh ini para de-influencer masih terpantau tidak membuat video atas dasar bayaran dengan menyarankan produk lain. Namun, seberapa jauh sebelum brand-brand menyadari taktik pemasaran baru ini dan membayar orang untuk mendiskreditkan produk pesaing? (kmp)
Baca juga: