Aku Belajar Gaya Hidup Minimalis di Masa Pandemi

Andreas PranataltaAndreas Pranatalta - Kamis, 22 Juli 2021
Aku Belajar Gaya Hidup Minimalis di Masa Pandemi
Memulai hidup yang lebih baik. (Foto: Decider)

APAKAH kamu setuju pandemi COVID-19 memberikan dampak negatif bagi kita semua? Ya, begitu pun dengan aku. Tapi kalau hanya fokus dengan hal-hal negatif saja, maka pikiran menjadi berantakan, stres, tidak fokus, dan bisa berdampak bagi kesehatan. Aku pun berpikir kira-kira hal positif apa bisa dilakukan selama masa pandemi?

Sebagai anak muda kekinian, melihat jumlah uang di rekening masih banyak tentu bikin gatal beli barang sesuai keinginan. Apalagi saat menerima transferan gaji dari kantor. Rasanya ingin membeli baju sudah ada di Add to Collection Instagram. Belum lagi kerja sampingan menjadi fotografer dan videografer, jumlah pendapatan bisa dibilang lumayan dan tentunya tidak lupa bersyukur.

Dulu, sebelum adanya pandemi, aku merasa cukup boros karena sering nongkrong, pergi sama pacar sekarang sudah jadi mantan, loyal sama teman, dan sering terpancing iklan online shop di Instagram. Jajan kopi di aplikasi online juga sering dilakukan biar nulis artikel makin fokus di depan laptop. Sirkulasinya begitu terus sampai akhirnya disadarkan pandemi.

Baca juga:

Fakta di Balik Suara Emas Siswa Asal Medan

Aku Belajar Gaya Hidup Minimalis di Masa Pandemi
Membagikan barang yang sudah tidak terpakai. (Foto: Unsplash/Nick de Partee)

Ketika banyak orang kena PHK atau sulit mencari pekerjaan, aku bersyukur karena masih diperbolehkan bekerja dan menerima gaji. Berangkat dari hal itu, aku berpikir alangkah lebih baik jika kelebihan barang milik aku dibagikan kepada orang membutuhkan. Memang tidak banyak, tapi setidaknya mereka lebih membutuhkan.

Aku belajar untuk mulai menerapkan gaya hidup minimalis dengan memanfaatkan barang sedikit mungkin namun dapat bermanfaat secara maksimal. Slogan pernah didengar, less is more. Gaya hidup seperti ini didasari pemikiran setiap sesuatu aku punya sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.

Contoh, aku punya begitu banyak kaos dan kemeja di lemari menumpuk dan cuma jadi pajangan saja, terlebih di masa pandemi membuat sulit untuk nongkrong, sehingga pakaian tersebut tak terpakai. Dulu, pakaian-pakaian itu aku beli karena tergoda dengan potongan harga, terlihat keren, dan ingin dijadikan koleksi. Sudah, hanya itu, bukan benar-benar butuh.

Di masa pandemi ini, tepatnya Mei 2020, aku memutuskan untuk membagikannya kepada orang lebih membutuhkan. Apa hasilnya? Slot lemari menjadi lebih luas untuk meletakkan barang-barang lain. Kamar menjadi lebih bersih, ruangnya jadi lebih luas, dan bikin nyaman ketika tidur. Yang bikin lebih bahagianya lagi adalah bisa memberikan bantuan kepada orang lain.

Baca juga:

Zaman Sudah Canggih, Ngilmu Nulis di Buku Tetap Lebih Asyik

Selain itu juga keperluan sehari-hari seperti beras, mi instan, dan telur berlebihan di dapur. Aku membelinya hanya untuk stok agar bisa dipakai dalam jangka waktu bulanan. Tapi dengan gaya hidup minimalis, keperluan tersebut aku berikan kepada pedagang, tukang parkir, tukang becak, pemulung, dan lainnya yang lebih membutuhkan. Ternyata bukan jadi masalah kok kalau stoknya berkurang di rumah selama tidak kekurangan.

Aku makin sreg dengan gaya hidup minimalis berkat film dokumenter The Minimalists: Less Is Now yang tayang di Netflix. Dokumenter ini menceritakan tentang dunia konsumerisme menimbulkan masalah, pengaruh media sosial dalam perilaku konsumtif, dan psikis manusia erbentuk untuk mengaitkan emosinya kepada barang.

Tiap orang sering terpapar dengan informasi di media sosial, akhirnya membuat masing-masing orang membandingkan diri dengan orang lain. Perasaan tidak lebih keren, lebih baik, dan tidak lebih layak akhirnya membebani pikiran kita.

Algoritma media sosial dengan ajaib mendekatkan tiap orang dengan iklan-iklan membuatnya seolah jadi keren. Siapa tidak tergoda dengan model cantik atau berbadan atletis? Secara tidak sadar, orang akan terbujuk rayuan iklan dan akhirnya membeli barang tersebut.

The Minimalists: Less Is Now juga menyadarkan berapa pentingnya membedakan mana keperluan dan mana keinginan. Penonton diajak untuk merefleksikan, apakah barang semahal atau sebagus ini memberikan value besar kepada diri saya?

Aku Belajar Gaya Hidup Minimalis di Masa Pandemi
Keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. (Foto: Unsplash/Daniel Romero)


Zaman sekarang banyak orang terobsesi dengan kemewahan seperti tas, gadget, kendaraan, sampai style fesyen harus up to date. Sebenarnya tidak masalah jika kamu mampu secara finansial atau anak sultan. Yang jadi masalah sudah pas-pasan dan nekat membeli demi gengsi. Tagihan di akhir bulan kemudian bikin stres.

Inti dari gaya hidup minimalis sebenarnya meninggalkan sikap boros dan berlebihan untuk hidup lebih simpel, namun berkualitas. Benar saja, aku merasakan dampak baik dari gaya hidup ini.

Yang pertama, aku jadi lebih hemat dan lebih baik secara finansial dari sebelumnya. Berkaca dari dokumenter The Minimalist: Less Is Now, tiap kali membeli barang, aku bertanya pada diri sendiri kira-kira barang ini butuh banget enggak sih? Atau cuma rasa senang di awal tapi nanti pas beli malah bingung ngapain. Value apa bisa barang ini berikan? Apakah aku jadi lebih produktif atau hanya terlihat keren di depan teman-teman.

Uang tadinya untuk membeli barang bisa aku gunakan ke hal lain dengan sistem 50, 30, dan 20. 50 persen untuk kebutuhan primer, 30 persen untuk hiburan, dan 20 persen untuk tabungan.

Aku juga mengurangi ambisi akan hal material karena makin sadar, ternyata materi berlimpah dan barang-barang mewah bukanlah tolok ukur sebuah kebahagiaan. Kenyamanan sudah aku capai ini membuatku merasa cukup, sehingga tidak ada ambisi berlebih untuk memiliki material lainnya.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, gaya hidup minimalis mengurangi berbagai barang kurang memiliki fungsi. Lemari tadinya penuh, berubah memiliki ruang lebih untuk hal-hal benar-benar aku butuhkan.

Kini, aku sudah kebal dengan notifikasi potongan harga atau iklan promo di Instagram. Lebih baik uang yang aku punya dialokasikan kepada orang lebih membutuhkan, seperti lewat platform penggalangan dana atau secara langsung. Terima kasih, pandemi. (and)

Baca juga:

Badut Kelas, Bikin Seisi Kelas Tertawa Sampai Lemas

#Juli Ngilmu Di Negeri Aing #Finansial #Keuangan #Fashion
Bagikan
Ditulis Oleh

Andreas Pranatalta

Stop rushing things and take a moment to appreciate how far you've come.
Bagikan