MerahPutih.com - Sudah 18 tahun lamanya, penuntasan kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib masih belum terealisasi. Sejak 7 September 2004, siapa dalang pembunuhan Munir terus dipertanyakan publik.
Munir meninggal dunia di dalam pesawat Garuda Indonesia yang membawanya ke Amsterdam, Belanda. Hasil autopsi menyimpulkan bahwa Munir tewas karena racun arsenik di tubuhnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun pernah berjanji untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, salah satunya ialah kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
"Ini (kasus-kasus pelanggaran HAM) memerlukan sebuah tindakan dan penegakan hukum yang tegas," kata Jokowi saat menerima sejumlah pakar dan praktisi hukum di Istana Merdeka, Jakarta, pada 22 September 2016 lalu.
Baca Juga:
SETARA Sebut Jokowi Tak Pernah Tuntas Pahami Duduk Perkara Kasus Munir
Janji Jokowi untuk menuntaskan kasus kematian Munir itu pun kembali ditagih. Sebab, sejak janji itu diucapkan, penanganan kasus Munir masih jalan di tempat.
Penanganan kasus ini masih berhenti pada penjatuhan hukuman terhadap aktor di lapangan dan bahkan membebaskan Muchdi Purwoprandjono, yang saat itu menjabat salah satu Deputi Badan Intelijen Negara (BIN).
Kasus kematian Munir bahkan terancam segera kedaluwarsa bila tak ada penuntutan dalam waktu dekat atau status perkaranya tak berubah menjadi pelanggaran HAM berat.
Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan, jika merujuk pada dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang banyak beredar, kasus itu bukanlah pembunuhan biasa.
Pembunuhan Munir, kata Hendardi, diduga dilakukan oleh aktor negara dan merupakan kejahatan kemanusiaan karena Munir dibunuh di luar atau tanpa proses peradilan (extra judicial killing).
Sementara Komnas HAM lebih memilih jalur aman dengan tidak menangani kasus Munir sebagai salah satu peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM.
Justru Komnas HAM baru membentuk tim ad hoc untuk penyelidikan kasus ini menjelang tibanya masa kedaluwarsa.
“Komnas HAM jelas pilih jalur aman dan berlindung di ujung masa kedaluwarsa dan di ujung masa jabatan Komnas HAM periode 2017-2022 yang akan berakhir Desember,” kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/9).
Baca Juga:
Munir 'Pergi' dalam Pesawat Garuda GA-974
Alih-alih menjadi instrumen percepatan penanganan kejahatan HAM, Komnas HAM menurut Hendardi justru menebalkan impunitas sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir.
Padahal, sejak TPF Munir menyelesaikan tugasnya di 2005, Komnas HAM semestinya sudah bisa melakukan kerja penyelidikan sehingga kasus ini terus bisa ditindaklanjuti dengan menggunakan kerangka UU 39 Tahun 1999 dan UU 26 Tahun 2000.
Hendardi pun menyinggung peran Jokowi sebagai Kepala Negara sejak 2014 atau dua periode itu. Jokowi dinilai tidak pernah tuntas memahami duduk perkara kasus Munir.
"Ketika didesak menindaklanjuti rekomendasi TPF Munir, Jokowi melalui Menteri Sekretaris Negara mengatakan tidak mengetahui laporan tersebut," kata Hendardi.
"Sebagai seorang presiden, semestinya Jokowi memahami bahwa tugas penuntasan pelanggaran HAM itu melekat pada dirinya, sekalipun peristiwa itu terjadi di masa sebelumnya," tambahnya.
TPF sebelumnya telah menyerahkan laporan tersebut kepada Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai presiden, kata Hendardi, yang artinya tugas lanjutan melekat pada presiden berikutnya.
Menurut Hendardi, Jokowi sebagai presiden dinilai tidak tuntas dalam memahami kewajibannya sebagai duty barrier atau pemangku kewajiban dalam hukum HAM.
"Bahkan karena Jokowi terus mengelak, SBY pun berinisiatif mengirimkan copy laporan tersebut pada 26 Oktober 2016 kepada Jokowi. Tetapi nyatanya, hingga periode kedua Jokowi tersisa 2 tahun lagi, Jokowi tetap tidak tuntas memahami kewajibannya sebagai presiden sebagai duty barrier atau pemangku kewajiban dalam hukum hak asasi manusia," kata Hendardi.
Selain kasus Munir, kata Hendardi, Jokowi pula yang menyusun kreasi absurd penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan non-yudisial, yang sudah dipastikan tidak akan mampu mengungkap kebenaran dan keadilan.
Keppres yang diklaim ditandatangani saat 17 Agustus 2022 dan hingga kini tidak bisa diakses publik, adalah cara pragmatis memberikan pemulihan karitatif bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.
"Keengganan Jokowi dalam menuntaskan kasus Munir dan pilihan Jokowi menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur non-yudisial adalah gambaran terang benderang tentang arah politik penegakan HAM di Indonesia yang semakin suram menuju pelembagaan impunitas secara permanen dan tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan," katanya. (Pon)
Baca Juga:
Perjuangkan 3 Legislasi HAM, Munir Layak Jadi Pahlawan Nasional