Tan Malaka: Sepak Bola Adalah Alat Perjuangan (Bagian 3)

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Rabu, 25 Februari 2015
Tan Malaka: Sepak Bola Adalah Alat Perjuangan (Bagian 3)

Tan Malaka (sumber: Istimewa)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

MerahPutih Nasional - Sejarah pergerakan kemerdekaan indonesia rupanya tak hanya dilakukan lewat jalan perlawanana bersenjata ataupun jalur diplomasi di meja perundingan. Olah raga sepak bola juga punya peran dalam menggelorakan pemuda maupun tokoh tokoh pergerakan Tanah Air untuk menumbuhkan identitas dan spirit kebangsaan serta rasa nasionalisme untuk kemerdekaan Indonesia.

Sebagai olah raga yang sangat diminati oleh berbagai kalanan masyarakat, Tan Malaka menggunakan ketangkasannya bermain sepak bola bukan hanya semata untuk menunjukan identitasnya namun ia mencoba menunjukan jati diri dirinya sebagai putra Hindia Belanda yang punya keiginan untuk merdeka. Tak bisa dimungkiri Tan Malaka menggunakan olahraga sepak bola sebagai alat untuk mengkomunikasikan tentang rasa nasionalisme

Saat itu pemerintah kolonial Belanda menunjukan superioritas kultural atas olahraga sepak bola dengan menaruh papan pengumuman yang bertuliskan "Verboden voor Inlanders en Hounden" atau "Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing" di beberapa lapangan sepak bola yang berada di Batavia. Tidak itu saja, klub-klub pribumi bahkan dilarang bertanding melawan klub Eropa.

Kegemaran Tan Malaka bermain sepak bola di mulai saat dirinya masih di sekolah dasar pada 1911. di garis depan. Tan malaka kerap menempati posisi penyerang. Sosok Tan malaka di atas rumput hijau digambarkan sebagai penyerang yang gesit dan licin. Saat merumput Tan Malaka memilih untuk tidak bersepatu. Hal ini sering mengundang decak kagum dari rekan-rekannya.

Kegemaran dan kemahiran Tan Malaka dalam mengolah si kulit bundar terus berlangsung bahkan sempat membuat namanya menjadi populer. Selama kurun waktu antara tahun 1914-1916, ketika Tan Malaka tinggal di Harleem, Belanda, ia sempat bergabung bersama klub profesional Vlugheid Wint. Dalam klub itu, Tan dikenal sebagai penyerang andal yang memiliki kecepatan luar biasa. Bermain di garis depan, beberapa penjaga gawang pernah merasakan tendangan keras Tan Malaka saat bermain tanpa alas kaki alias nyeker.

Saat di Belanda Tan Malaka sering bermain bola dengan kondisi cuaca yang dingin. Dirinya tak menghiraukan saran rekan-rekanya untuk mengenakan jaket tebal. Kebiasaan Tan Malaka bermain sepak bola tanpa mengenakan sepatu juga kerap membuat kakinya terluka.

Namun Kebiasaan Tan Malaka bermain bola tanpa mengenakan jaket tebal di tengah cuaca dingin membuatnya jatuh sakit. Ia pun divonis dokter mengidap penyakit radang paru-paru.

Sepak bola pun beberapa kali menjadi bahan obrolan saat Tan Malaka minum kopi dengan pengungsi Belgia yang lari dari serbuan kekejaman serdadu Nazi Jerman di sebuah pondokan yang berada di kawasan Jacobijnesraat, Belanda.

Di saat Jepang menjajah Indonesia, Tan Malaka melakukan berbagai kegiatan baik kritik maupun pertemuan pertemuan rahasia untuk menggagas perlawanan terhadap penjajah jepang lewat pertandingan sepakbola.

Hijrah ke Banten

Hal itu dituangkan oleh Harry A Poeze dalam bukunya yang berjudul 'Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946,di mana dikisahkan pada Juni 1943, Ibrahim Datuk Tan Malaka pindah dari Jakarta ke Bayah, Banten. Di tempat itu, Tan Malaka yang menyamar dengan menggunakan nama Ilyas Hussein bekerja di bagian administrasi sebagai juru tulis para romusha.

Dalam penyamarannya sebagai Ilyas Hussein, Tan Malaka memperjuangkan berbagai hak-hak romusha, mulai dari kesehatan, gaji, dan kehidupan yang layak. Pemerintah Jepang pun menilai kinerja Ilyas Hussein sangat baik, Mereka lalu menjadikannya menjadi Ketua BPP (Badan Pembantu Keluarga PETA).

Saat menjabat sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga PETA inilah Tan Malaka sering mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara ataupun pertandingan sepak bola sebagai kegiatan ekstra kemasyarakatan. Kedua hal itu ia lakukan untuk menghilangkan rasa lelah dan penat yang dialami para romusha.

Tak hanya menggelar kegiatan, Tan Malaka bahkan membentuk grup sandiwara serta tim kesebelasan sepak bola bernama Pantai Selatan. Lewat grup Sandiwara Tan menyisipkan berbagai kritik terhadap pemerintah jepang lewat lakon-lakon kisah seperti Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, ataupun Kisah Perang Puputan Bali.

Sedangkan tim sepak bola Pantai Selatan bentukannya tersebut banyak berperan dalam menggelorakan semangat kemerdekaan para pemuda lewat ajang kejuaraan lokal di sekitar Rangkasbitung. Terkadang Tan pun turun bermain sebagai gelandang sayap. Wasit di kejuaraan Rangkasbitung. Selesai bermain, Tan yang dikenal selalu memakai celana pendek, helm tropis, dan tongkat itu biasanya mentraktir para pemain tim sepak bola yang berlaga dalam kejuaraan tersebut.

Lewat olah raga sepak bola pula tak jarang Tan Malaka mengambil hal-hal kecil dalam olahraga tersebut yang dapat diterapkan di berbagai bidang kehidupan sosial masyarakat maupun dalam kehidupan politik antarlembaga negara.

Misalnya dalam salah satu karyanya, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), Tan Malaka menuliskan bahwa salah satu cara agar tidak terjadi kekacauan, ibarat menentukan pemain dalam sebuah pertandingan sepak bola. Ia menuliskan, "Apabila kita menonton satu pertandingan sepak bola, maka lebih dahulu sekali kita pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak, bingunglah kita. Kita tidak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak."

BACA JUGA: Tan Malaka Benci Hapalan dan 2 Kali Gagal Ujian (Bagian 2)

Pemikiran dan ucapan Tan Malaka itu rasanya kalau ditarik ke era kekinian, pantas menggambarkan sejumlah pimpinan lembaga penegak hukum yang berseteru sebutlah antara KPK dan Polri. Kisruh antardua lembaga penegak hukum yang mulai menyeret rakyat dalam memberi dukungan. Ada barisan yang mendukung Polri. Namun tak sedikit rakyat yang berdiri membela KPK.

Belum lagi Intrik politik serta klaim saling benar, makin membuat wajah penegakan hukum Indonesia menjadi sesuatu yang memalukan. Padahal, jika para petinggi di kedua lembaga tersebut itu memahami tugasnya adalah pamong rakyat, kekisruhan yang seolah tiada henti seperti sekarang ini tidak akan terjadi. Andai saja para petinggi di edua lembaga tersebut mau mengilhami pemikiran Tan Malaka, niscaya arah penegakan hukum di negara ini dapat terwujud tanpa perlu kisruh ini itu dan tak ada dualisme dukungan rakyat yang saling "bermusuhan". (man)

#Sejarah Indonesia #Pahlawan Nasional #Tan Malaka #70 Tahun Indonesia Merdeka
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.

Berita Terkait

Indonesia
Rumah Kecil Pahlawan Nasional Slamet Riyadi Memprihatinkan, DPRD Solo Ajukan Dana Revitalisasi APBD
Rumah kecil Slamet Riyadi terakhir direhab tahun 1937.
Frengky Aruan - Senin, 18 Agustus 2025
Rumah Kecil Pahlawan Nasional Slamet Riyadi Memprihatinkan, DPRD Solo Ajukan Dana Revitalisasi APBD
Indonesia
Pejuang dan Tokoh Pendiri DI/TII Daud Beureueh Diusulkan Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Ini Kiprahnya
Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara pada era Orde Lama dan Orde Baru juga pernah dianggap pemberontak PRRI.
Alwan Ridha Ramdani - Jumat, 11 Juli 2025
Pejuang dan Tokoh Pendiri DI/TII Daud Beureueh Diusulkan Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Ini Kiprahnya
Indonesia
Fraksi Golkar Minta Rencana Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Ditinjau Kembali
"Jangan sampai sejarah ditulis oleh pemenang itu terjadi."
Wisnu Cipto - Selasa, 17 Juni 2025
Fraksi Golkar Minta Rencana Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Ditinjau Kembali
Tradisi
Mengapa Indonesia Punya Banyak Pahlawan Nasional? Sejarah Pemberian Gelar Pahlawan dan Kontroversi Panasnya
Gelar Pahlawan Nasional bukan cuma soal jasa, tapi juga politik dan kontroversi. Dari proses penetapan hingga perdebatan soal Soeharto—simak sejarah panjang dan panasnya di sini!
Hendaru Tri Hanggoro - Rabu, 11 Juni 2025
Mengapa Indonesia Punya Banyak Pahlawan Nasional? Sejarah Pemberian Gelar Pahlawan dan Kontroversi Panasnya
Indonesia
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Diklaim Sudah Disetujui, Bakal Habiskan Anggaran Rp 9 Miliar
Pembaruan buku sejarah Indonesia dilaksanakan mulai Januari 2025 dan ditargetkan rampung Agustus 2025.
Alwan Ridha Ramdani - Minggu, 01 Juni 2025
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Diklaim Sudah Disetujui, Bakal Habiskan Anggaran Rp 9 Miliar
Indonesia
Tulis Sejarah Ulang Indonesia, Menbud Fadli Zon Libatkan 113 Penulis
Proyek penulisan ulang buku sejarah Indonesia
Wisnu Cipto - Senin, 26 Mei 2025
Tulis Sejarah Ulang Indonesia, Menbud Fadli Zon Libatkan 113 Penulis
Indonesia
Wamensos Sebut Keputusan Gelar Pahlawan Soeharto Ada di Istana
Sosok aktivis 98 ini menyampaikan bahwa batas waktu pengusulan dari daerah akan berakhir pada akhir Mei
Angga Yudha Pratama - Sabtu, 24 Mei 2025
Wamensos Sebut Keputusan Gelar Pahlawan Soeharto Ada di Istana
Indonesia
AKSI Kritik Proyek Penulisan Ulang 'Sejarah Resmi', Disebut sebagai 'Kebijakan Otoriter untuk Legitimasi Kekuasaan'
Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia menolak proyek 'sejarah resmi' oleh Kementerian Kebudayaan yang dinilai mengaburkan fakta sejarah dan menjadi alat legitimasi politik.
Hendaru Tri Hanggoro - Senin, 19 Mei 2025
AKSI Kritik Proyek Penulisan Ulang 'Sejarah Resmi', Disebut sebagai 'Kebijakan Otoriter untuk Legitimasi Kekuasaan'
Berita
Hari Buruh 2025: Marsinah Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Intip Profilnya
Nama Marsinah kembali menggema di tengah perayaan Hari Buruh 2025 yang digelar megah di kawasan Monas, Kamis (1/5/2025).
ImanK - Kamis, 01 Mei 2025
Hari Buruh 2025: Marsinah Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Intip Profilnya
Indonesia
Pesan Usman Hamid di Perayaan 70 Tahun Konferensi Asia-Afrika, Ingatkan Soal Soekarno dan Soeharto
Selain mengutip Soekarno, Usman juga menyuarakan pentingnya perlindungan hutan tersisa di dunia, yaitu hutan di Papua, Amazon, dan Kongo Afrika.
Alwan Ridha Ramdani - Minggu, 27 April 2025
Pesan Usman Hamid di Perayaan 70 Tahun Konferensi Asia-Afrika, Ingatkan Soal Soekarno dan Soeharto
Bagikan