Tan Malaka Benci Hapalan dan 2 Kali Gagal Ujian (Bagian 2)


Tan Malaka (sumber: Istimewa)
MerahPutih Nasional - Selain dikenal nakal, Tan Malaka kecil juga terkenal sopan, jujur, dan punya prinsip.
Ia juga terkenal memiliki sifat terus terang, lurus, sedikit pemberang, berkemauan keras, dan seorang yang memiliki solidaritas tinggi. Tak hanya itu, sejak kecil Tan Malaka juga terkenal cerdas sampai-sampai guru-gurunya sangat menyayanginya.
Tan Malaka pernah menempuh pendidikan Kweekschool, dikenal sebagai sekolah raja karena tak tergapai oleh kaum inlanders merupakan satu-satunya sekolah guru untuk anak-anak Indonesia di Sumatra Barat yang terletak di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda.
Kecerdasan dan keinginannya yang keras serta perangainya yang sopan mendapatkan perhatian serius dari seorang guru Belanda bernama Horensma.Atas anjuran dari Horensma pula ia dipromosikan untuk meneruskan sekolah lanjutan di negeri Belanda.
Lika-liku kehidupan Tan Malaka saat menempuh studi di Belanda dikisahkan dalam dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, terbitan Palapa tahun 2013.
Di mana dikisahkan saat di Belanda Tan Malaka diterima menjadi mahasiswa Rijksweekschool (sekolah pendidikan guru negeri), Haarlem, Belanda, setelah lulus serangkaian tes dan mendapat izin dari Kementerian Negeri Belanda pada 1914.
Awalnya Tan Malaka mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat, iklim, dan makanan di Belanda. Tan Malaka akhirnya berhasil menyesuaikan diri dan melewati semua itu berkat bantuan seorang gurunya yang bernama Horensma.
BACA JUGA: Tan Malaka: Bad Boy dari Lembah Suliki (Bagian 1)
Selama studi di sekolah itu, Tan Malaka tidak menyukai pelajaran yang berbasis pada hafalan. Biasanya materi itu berada pada pelajaran yang membahas soal tumbuh-tumbuhan. Hal itu diungkapkan langsung oleh Tan Malaka dalam buku tersebut dengan mengatakan,
"Kebencian kepada dunia yang berupa kaji-hafalan yang dipaksakan karena tidak menarik hati, lebih hebat daripada kebencian menghadapi roti keju dan roti keju zonder variasi dari hari ke hari di asrama dulu. Kebencian terhadap roti ini hanya timbul di waktu menghadapinya saja, tetapi kebencian terhadap kaji-hafalan yang dipaksakan adalah terus menerus," ujarnya.
Saat menetap di Belanda Tan Malaka beberapa kali pindah indekos demi mengirit Rp50 yang dikirim orang kampungnya. Hal itu membuat Tan Malaka mencari tambahan penghasilan dengan mengajar kursus bahasa Melayu kepada warga Belanda.
Tan Malaka akhirnya lulus ujian akhir sekolah secara tertulis pada 1916. Namun, dia harus mengikuti satu studi lagi untuk mendapat akta guru kepala. Pemilik akta itu akan langsung diangkat resmi menjadi guru oleh pemerintah.
Gagal Ujian
Pada 28 Juni 1918, Tan Malaka mengikuti ujian tertulis untuk akta guru kepala dan mendapat hasil yang menggembirakan. Namun dia gagal mengikuti ujian lisan. Tan Malaka sedih atas kegagalannya itu.
Setahun kemudian tepatnya pada 27 Juni 1919, ia kembali menempuh ujian tertulis. Di akhir Juli, ia mengikuti ujian lisan tetapi lagi-lagi ia tidak lulus.
Setelah dua kali gagal, ahirnya pada November 1919, Tan Malaka berhasil lulus dan mendapatkan ijazahnya yang disebut Hulpactie. Belanda menjadi negeri yang membentuk Tan Malaka. Di negeri ini, Tan Malaka mengenal sosialisme. Dia kerap membaca koran, artikel dan segala macam buku aliran kiri. Belanda menjadi titik awal perjuangan Tan Malaka yang bercita-cita memerdekakan Indonesia dari penjajahan dan menerapkan keadilan bagi semua kelas sesuai sosialisme.
Saat berada di Belanda Tan Malaka tak hanya berkutat pada studi semata. Beberapa aksi yang dilakukannya bakal membuat kita tercengang. Seperti yang akan dituturkan dalam tulisan berikutnya tentang tokoh yang hampir dilupakan ini. (man)
Bagikan
Berita Terkait
Rumah Kecil Pahlawan Nasional Slamet Riyadi Memprihatinkan, DPRD Solo Ajukan Dana Revitalisasi APBD

Pejuang dan Tokoh Pendiri DI/TII Daud Beureueh Diusulkan Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Ini Kiprahnya
Fraksi Golkar Minta Rencana Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Ditinjau Kembali

Mengapa Indonesia Punya Banyak Pahlawan Nasional? Sejarah Pemberian Gelar Pahlawan dan Kontroversi Panasnya

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Diklaim Sudah Disetujui, Bakal Habiskan Anggaran Rp 9 Miliar

Tulis Sejarah Ulang Indonesia, Menbud Fadli Zon Libatkan 113 Penulis

Wamensos Sebut Keputusan Gelar Pahlawan Soeharto Ada di Istana

AKSI Kritik Proyek Penulisan Ulang 'Sejarah Resmi', Disebut sebagai 'Kebijakan Otoriter untuk Legitimasi Kekuasaan'

Hari Buruh 2025: Marsinah Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Intip Profilnya

Pesan Usman Hamid di Perayaan 70 Tahun Konferensi Asia-Afrika, Ingatkan Soal Soekarno dan Soeharto
