Sering Beda Pendapat, Aidit dan Natsir Kerap Ngopi Bersama

Fredy WansyahFredy Wansyah - Sabtu, 07 Maret 2015
Sering Beda Pendapat, Aidit dan Natsir Kerap Ngopi Bersama

M Natsir Bersama Ghafar Ismail (Foto: Youtube)

Ukuran:
14
Audio:

MerahPutih Nasional - Jujur, lugu, bijaksana dan bersahaja. Itulah gambaran yang pantas disematkan kepada bekas Perdana Menteri era Orde Lama Mohammad Natsir. Bekas Ketua Umum Partai Masyumi itu memegang teguh prinsip santun dalam berpolitik. Meski berbeda sikap dan pandangan dengan lawan politiknya, bukan berarti Natsir menjauhi mereka.

Natsir hidup di zaman pergerakan, sebuah zaman awal kemerdekaan. Sebuah zaman di mana ide dan gagasan satu sama lain saling bertentangan. Adu argumentasi panas sudah menjadi menu utama setiap hari. Dalam berbagai rapat-rapat, para politikus, baik dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) Partai Sosialias, dan partai-partai lain satu sama lain menawarkan ide untuk membangun bangsa Indonesia yang masih muda. (Baca juga: Politikus-Negarawan yang Lampaui Kebesaran Partai dan Parlemen)

Mereka berperang kata, namun santun dalam etika. Saat berhadapan dengan penjajah, mereka satu sama lain saling membantu dan bahu membahu. Perbedaan pendapat yang terjadi tidak menjadikan Indonesia terpecah-belah. Perbedaan pendapat dan pluralisme adalah sesuatu yang sudah biasa kala itu. Natsir secara tegas tidak setuju ajaran komunisme. Ia memilih jalan menyuarakan prinsip-prinsip politik Islam.

Dalam banyak kesempatan, Natsir kerap menulis keruntuhan Dinasti Turki Ottoman. Pasca-keruntuhan Dinasti Turki pada tahun 1924, Natsir membeberkan dampak-dampak negatifnya. Dunia Islam pecah berkeping-keping, jatuh dalam cengkraman kolonialisme Eropa. Natsir juga memahami Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam. (Baca jugaKisah Penjaga Museum Transportasi)

Dalam sebuah buku berjudul Mohammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan dijelaskan bahwa Natsir juga menjalin hubungan baik dengan Dipo Nusantara (DN) Aidit yang kala itu menjabat Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI).

Masyumi dan PKI adalah dua hal yang tidak bisa bertemu, keduanya ibarat air dan minyak. Meski demikian Natsir paham politik identitas tidak diatas segala-galanya. Ia biasa minum kopi bersama dengan DN Aidit di kantin gedung Parlemen. Pertemanan keduanya semakin erat saat Aidit mengantar Natsir dengan mengedarai sepeda motornya pergi ke Pejambon.

Sambil minum secangkir kopi, Aidit dan Natsir kerap ngobrol. Hal tersebut biasa dilakukan keduanya di waktu senggang, tidak jarang mereka menikmati secangkir kopi usai menghadiri sidang-sidang dan rapat. Meski berbeda pendapat, keduanya menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik.
Sementara itu, KH Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng pada tahun 2008 silam, dalam peringatan 100 tahun Natsir, mengatakan bahwa Natsir adalah salah satu sosok pemipin terbaik bangsa. Toleransi, kesederhanaan, keteguhan hati, keberanian, kejernihan berpikir, pengabdian bagi negara dan agama identik dengan sosok Natsir.

Gus Sholah juga mengakui, meski kerap berseberangan dalam ide dan gagasan, namun politikus terdahulu akur dan kerap duduk satu meja untuk menikmati secangkir kopi bersama. (Baca: Tan Malaka: Bad Boy dari Lembah Suliki)

"Mengapa generasi pendiri bangsa bisa bertentangan pendapat tetapi tidak membuat mereka harus bermusuhan? Pemimpin PKI DN Aidit bisa ngopi bareng tokoh Masyumi Isa Anshary dan Mohammad Natsir," kata Gus Sholah beberapa waktu silam.

Bukan hanya itu perbedaan sikap dan ide juga mempertemukan Natsir dengan Sokarno. Pada awal tahun 1930 an polemik keras terjadi antara Natsir dan Sukarno. Meski berbeda dalam ide dan gagasan, keduanya kompak bahu membahu melawan agresi Belanda. Pada awal tahun 1950-an Natsir juga menjadi perdana menteri. (bhd)

#70 Tahun Indonesia Merdeka
Bagikan
Ditulis Oleh

Fredy Wansyah

Berita Terkait

Bagikan