"Darah Itu Merah Jendral", Mengenang Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI


Poster Film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (jejakandromeda.com)
MerahPutih Film - “Darah Itu Merah, Jendral!”, “Bukan main wanginya minyak wangi Jenderal, begitu harum sehingga mengalahkan amis darah sendiri!”.
Masih ingatkan anda dengan dialog di atas? jika masih, Anda berarti bagian dari masyarakat Indonesia yang pernah "dicekoki" film karya Arifin C Noer "Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI" yang selalu diputar setiap tanggal 1 Oktober di seluruh televisi di Indonesia.
Seperti yang himpun dari berbagai sumber, film itu dimulai pada tahun 1984 pemerintah Orde Baru menggunakan Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI sebagai kendaraan propaganda, menayangkan film ini setiap malam 30 September.
Film ini juga ditayangkan di sekolah-sekolah dan lembaga pemerintah, para siswa akan dibawa ke lapangan terbuka untuk melihat film ini dalam kelompok-kelompok. Wajib nonton untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Lewat mobilisasi massal Orde Baru setiap tahun inilah, Sen dan Hill berpendapat bahwa Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI adalah film Indonesia yang paling sering disiarkan dan paling banyak ditonton sepanjang masa.
Mulai Dipertanyakan
Sebuah survei tahun 2000 yang dilakukan oleh majalah TEMPO menemukan bahwa sebanyak 97 persen dari 1.101 siswa yang disurvei telah menyaksikan film ini; bahkan 87 persen dari mereka telah menyaksikan lebih dari sekali
Selama sisa era 1980-an dan awal 1990-an, akurasi sejarah Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI hanya sedikit diperdebatkan, dan film ini menjadi wakil kanun sejarah, versi kejadian tahun 1965 dalam film ini adalah satu-satunya yang diperbolehkan dalam wacana terbuka kala itu.
Namun pada pertengahan 1990-an, komunitas internet anonim dan publikasi-publikasi kecil mulai mempertanyakan isi film tersebut, satu pesan yang dikirim melalui milis bertanya "Jika hanya sebagian kecil dari kepemimpinan PKI dan agen militer mengetahui kudeta, seperti di film ini, bagaimana bisa lebih dari satu juta orang tewas dan ribuan orang yang tidak tahu harus dipenjarakan, diasingkan, dan kehilangan hak-hak sipil mereka?"
Pakar politik Ariel Heryanto berpendapat bahwa hal ini dihasilkan dari polifoni yang tidak disengaja dalam film ini, sementara Sen dan Hill berpendapat bahwa Arifin C Noer mungkin telah menyadari maksud pemerintah untuk berpropaganda dan dengan demikian membuat pesan politik dalam film ini "jelas-jelas bertentangan".
Pada September 1998, empat bulan setelah jatuhnya Soeharto, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan bahwa film ini tidak akan lagi menjadi bahan tontonan wajib di Hari Kesaktian Pancasila, dengan alasan bahwa film ini adalah usaha untuk memanipulasi sejarah dan menciptakan kultus dengan Soeharto di tengahnya.
TEMPO melaporkan pada 2012 bahwa Marsekal (purn) Saleh Basarah dari Angkatan Udara telah mempengaruhi dikeluarkannya keputusan ini. Majalah ini menyatakan bahwa Basarah telah menghubungi Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dan memintanya untuk tidak menayangkan Pengkhianatan G 30 S PKI, karena film ini telah merusak citra Angkatan Udara Republik Indonesia.
Dua film lainnya, 'Janur Kuning' (1979) dan 'Serangan Fajar', kemudian juga dipengaruhi oleh keputusan tersebut. 'Janur Kuning' menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan di balik Serangan Umum 1 Maret 1949, sementara 'Serangan Fajar' menunjukkan dia sebagai pahlawan utama Revolusi Indonesia.
Pada saat itu TVRI tampaknya berusaha untuk menjauhkan diri dari mantan presiden Soeharto. Hal ini terjadi semasa periode penurunan status simbol-simbol yang berkaitan dengan peristiwa G30/SPKI, dan pada dekade 2000-an awal, versi non-pemerintah dari peristiwa kudeta G30S/PKI mudah didapatkan di Indonesia. Di Hari Kesaktian Pancasila mereka dan sekolah/kampus tidak lagi wajib memutarkan film karya dedengkot teater Indonesia, Arifin C Noer.
BACA JUGA: