Si Buta Dari Gua Hantu
Barda Mandrawata lahir di Desa Eretan, Banten, pada 1850. "Ada kata kunci penting di jilid satu, Si Buta Dari Gua Hantu, dan Tuan Tanah Kedawung," kata Alex Wienarto mengacu narasi pembuka jilid pertama menerangkan kisah tersebut terjadi sekira seabad silam, sementara cergam dibuat pada 1967, artinya terjadi di tahun 1867, lalu pada Tuan Tanah Kedawung disebut Barda berusaha memecahkan jurus di air terjun 'Gua Hantu' pada umur 17 tahun. "Ketemu angka 1850".
Ia pewaris tunggal perguruan silat Elang Putih. Ayahnya, Paksi Sakti Indrawatara, mahaguru Elang Putih, sementara kakeknya, Sang Hyang Watu Geni, kelak bertemu bahkan bertarung di saat lahar Gunung Merapi muntah (Misteri di Borobudur, 1967).
Saban hari, selain berlatih silat, Barda menggulung celana menanak tanah menaruh benih di sawah. Segendangsepenarian, masyarakat Desa Eretan di dalam lindungan Elang Putih hidup tenteram dengan mengandalkan pendaringan dari hasil bertani. Bahkan, kali terakhir sebelum disangka telah mati, Barda berjumpa kekasihnya akan disuntingnya, Marni Dewianti, di pematang sawah.
Namun nahas, Marni kemudian terkapar sementara ayahnya, Gandra Lelayang, tewas di tangan Mata Malaikat. Amarah Barda membuncah apalagi setelah melihat dengan mata langsung Paski Sakti meregang nyawa di tangan orang serupa. Hidupnya Barda berubah mengejar dendam, menanggalkan kenormalan, menjadi pengelana, bahkan tak lagi mengidam cinta.