BERMUNCULAN unggahan di media sosial tentang pemilik rumah kontrakan atau indekos menggratiskan sewa, pengemudi ojek online saling berbagi makanan, sesama pekerja kreatif menggalang kegiatan agar kru di belakang layar tetap beroleh pemasukan, masyarakat tak henti-hentinya memberi dukungan penuh kepada tenaga medis, serta tumbuh kesadaran ketika petugas berbusana APD lengkap menjemput ODP maka para tetangga meneriakan namanya, bertepuk tangan, menyemangati orang tersebut untuk berjuang menghadapi COVID-19.
Segala aksi nyata itu menandakan sisi kemanusian setiap orang tak pernah redup bahkan menguat berlipat ganda meski berhadap-hadapan dengan situasi serbasulit. Harapan terus menyala dan kehidupan terus melaju sebab manusia pada dasarnya memiliki kemapuan bertahan hidup (survival mode) dan beradaptasi dengan segala perubahan.
“Tak ada akar, rotan pun jadi,” menjadi pepatah paling ampuh di masa pandemi. Para pemilik usaha memutar otak mengganti menu, mengubah strategi biar tempat sepi tetap bisa delivery agar baik owner, karyawan, jasa antar, ataupun konsumen sama-sama menang. Begitu pula pada aspek lain.
Pandemi mungkin hal baru bagi manusia, tapi bukan bagi sejarah umat manusia. Tiap pandemi atau wabah besar melanda bumi, bukan saja muncul adaptasi baru namun di saat bersamaan lahir value baru, seperti muncul peradaban baru setelah Wabah Justinian memporak-poranda Bizantium dan menyusutnya perbudakan di Eropa usai Black Death.
Kemunculan pandemi atau pageblug (bahasa Jawa) masa silam di Nusantara diartikan masyarakat Jawa sebagai bagian penyelarasan semesta. Masyarakat secara tradisi merespon ‘keganjilan’ itu dengan membuat semarak keheningan dengan memukul bersama-sama benda apa pun di sekitarnya dengan harapan marahabaya lari tunggang-langgang mendengar gemuruh suara. Bebunyian itu selain dipercaya mampu mengusir hal buruk, juga simbol perjuangan bersama secara sederhana.
Kini, di tengah pandemi, apakah nilai kebersamaan masih ampuh menggenapi? Merahputih.com mengetengahkan tema MEINANG sebagai spirit kebersamaan masyarakat berjuang dengan berbagai cara menghadapi kondisi tidak menentu akibat COVID-19. Konteks kebersamaan atau menguatkan ukhuwah Islamiyah semakin mengental saat Ramadan sehingga memacu umat tuk menggandakan kebaikan menuju hari kemenangan.
Tiga kata kunci: berjuang, ramadan, dan menang secara historis bahkan punya pertalian kuat karena Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, sebagai buah perjuangan panjang segenap rakyat, dikumandangkan saat bulan Ramadan. Bukan tidak mungkin melalui perjuangan dan doa saat ini, pada perayaan HUT ke-75 Republik Indonesia mendatang seluruh masyarakat sudah kembali berkerumun berpawai ria sebagai bentuk syukur kemenangan bersama. Amin.
Namun kini perjuangan belum usai terutama melawan musuh terbesar tak lain Ego Personal. Ego mau keluar rumah ngumpul bareng teman karena bosan di rumah, menganggap pandemi sebagai konsipirasi sehingga mengabaikan seluruh protokol kesehatan, menimbun bahan medis dan pokok demi keuntungan pribadi, dan tetap mudik hanya karena harus, serta ikut menyebarkan hoaks. Jangan mau menang sendiri!
Kabar hoaks jadi concern redaksi karena mendegradasi kebutuhan masyarakat akan arus informasi akurat di tengah pandemi. Mulai tengah bulan lalu, merahputih,com menyediakan kanal khusus periksa fakta untuk membongkar informasi diduga hoaks agar masyarakat beroleh kejernihan. Semua MEINANG, semua senang! (*)