PELESIR cari vitamin sea, 'mantai'. Kebayang enggak sih debur ombak, semilir angin, sekaligus sunset. Asyik. Masa sih masih pakai jaket, celana jins, dan sepatu lengkap. Mana ogah injak pasir putih. Diam di pantai tapi ramai di medsos. Cekrak-cekrek unggah cekrak-cekrek unggah. Banyak like. Padahal ngobrol juga enggak.
Begitu pulang seruput cairan anti-masuk angin. Balur minyak kayu putih sebadan. Minta dikerokin pula. Capek banget deh mantai sama circleku. Kzl. Terus udah jauh- jauh ke Bajo maunya makan mi instan pake cabe rawit. Mana request telor kuningnya mateng tapi putihnya mentah lagi. Enggak sekalian sawinya dikepang biar estetik.
Eh ternyata, enggak cuma circleku aja nih paling weird. Di atas bukit, selagi trekking tipis-tipis di beberapa batu ada coretan-coretan vandal. "Love bunda Mel". "Rido was here". Dipikir dinding tebing tembok curhat kali yes. Sumpah enggak ada keren-kerennya acan.
Sepulang liburan keanehan malah tambah parah. Nyokap curhat ngerasa enggak sreg sama temen-temen satu arisan cuma gara-gara ide pakai seragam tydie diganti loreng-loreng camo. Bahkan, kalo idenya beneran ditolak, mau nolak ikut tur ke Borobudur, Magelang. Cuma perkara seragam enggak seide.
Lagian arisan nyokap juga aneh parah. Arisan saban bulan bayar 150 ribu, tapi tiap dua bulan tur Puncak, Bandung, Yogyakarta, sampai Bali. Udah gitu harus patungan seragam tiap kali tur. Biaya oleh-oleh malah lebih gede. Kadang berangkat cuma bekal tas kecil, pas pulang angkut tiga dus oleh-oleh.
Kacaunya lagi, nyokap tergabung di arisan istri pensiunan. Artinya, mereka enggak lagi aktif dan berpenghasilan penuh setiap bulan. Terus kok bisa heboh gitu. Dana dari mana? Ya dari anaknya ngecrek tiap bulan. Anaknya jarang unggah foto liburan, si nyokap justru heboh betul medsosnya setiap saat.
Belum lagi perilaku ajaib orang-orang pelesiran ke stasiun MRT sambil ngegelar tikar lengkap dengan rantang penuh lauk pauk. Bahkan, entah saking haus hiburan atau karena apa, TKP kecelakaan seolah disulap jadi lokasi pelesiran dadakan. Bukannya bantuin, malah asyik nongkrong ngeliatin sampai bikin macet dan mumet pengguna jalan lain.
Mana ada orang di belahan dunia lain studi tour ke Planetarium istirahat makan siang lesehan pakai tiker di lobi. Ya cuma Indonesia.
Kayaknya emang cuma masyarakat +62 aja punya kelakuan begitu. Khas banget. Kadang aneh, ajaib, mungkin beberapa orang sebut kampungan atau alay. Namun, begitulah wajah khas Indonesia. Enggak bisa dipungkiri kok.
Segala konsep baku plesiran internasional kadang mentah atau malah ditransformasi pada sisi nyaman orang-orang Indonesia. Biar aja dibilang enggak nyambung. Yang penting kumaha aing. Dan, hal macam itu enggak cuma ada di dunia plesiran.
Di kuliner misalnya. Kolonel Sanders bakal nangis setiba di Jakarta. Kentang goreng minggat. Minuman kola absen. Saus tomat nihil. Semua pelengkap ayam goreng tepung berganti. Kentang tukar nasi, minuman kola salin es teh, sementara saus berubah?
Di cobek bersandar cabai rawit oranye, bawang putih, dan garam. Ketiga bahan diulek kasar lalu disiram minyak goreng panas. Sambal lantas dibalur di ayam goreng tepung sambil digeprek. Voila! Ayam goreng tepung asal negeri 'Pam Sam' berubah jadi Ayam Geprek. Aneh? Mungkin di awal kemunculan terasa aneh.
Sekarang, mulai artis ternama dengan puluhan gerai sampai merek ayam goreng berlambang kolonel mengusung konsep fine dinning pun ikut-ikutan memasang sajian Ayam Geprek pada daftar menu. Bagi lidah, konsep nomor sekian, terpenting rasa. Kalau cocok lanjut. Perdebatan selesai. Entitas baru lahir dari 'budaya tanding'.
Budaya tanding (counter culture) lahir sebagai alternatif dominasi budaya. Dalam kaitan Ayam Geprek, orang Indonesia tak lagi mempertentangkan nasi-kentang, kola-teh, dan saus-sambal, melainkan memproduksi sajian baru lewat tabrak lari konsep dan kultur.
Begitu ayam goreng tepung digeprek sambal, kultur makanan langsung berubah dari formal gaya Barat memerlukan sendok-garpu jadi serba cair nan hanya butuh tangan telanjang. Selain kepraktisan, bagi masyarakat Indonesia paling penting esensi.
Lagian orang Indonesia juga enggak pernah mempermasalahkan mengapa tukang rujak pakai aquarium. Sementara tukang ikan pakai plastik. Repot kan.
Di peristiwa tertentu, terkadang budaya tanding hadir sebagai tawar-menawar nilai. Persis seperti orang desa menertawakan orang kota swafoto di sawah, sebaliknya orang kota terbahak melihat orang desa foto di Monas. Sawah dan Monas sama-sama punya nilai, tinggi-rendah, di masing-masing masyarakat.
Orang Indonesia khas. Mungkin beberapa terkesan dilematis. Di masa kini, mereka pergi jauh sampai Eropa namun ketika kangen masakan Indonesia cukup beli mie instan rasa rendang, soto, atau ayam geprek. Esensial bukan.
Bermacam kelakuan ajaib tersebut, terkadang justru membuat orang Indonesia khas. Bahkan orang lain mungkin tertarik dengan perilaku tersebut. Makanya jangan pernah malu jadi orang Indonesia. Negara Aing, Kumaha Aing!
Di bulan Januari 2021, merahputih.com berupaya menangkap perilaku unik yang menjurus ke ganjil orang-orang Indonesia saat plesiran atau mencari hiburan. Pertama, agar masyarakat tak perlu malu apalagi minder jadi orang Indonesia dengan segala keuinikan dan keganjilannya.
Kedua, dokumentasi keganjilan tersebut mungkin tak akan menarik bagi sesama orang Indonesia, tetapi belum tentu bagi bangsa lain. Yang jelas kita harus berbangga atas keunikan perilaku yang tiada duanya di dunia.
Negara Aing menjadi tolok ukur paling jelas berkait identitas kontemporer orang Indonesia, nan melebur antara beragam konsep dan persentuhan kultur. Masih doyan nasi aja belagu mau pindah WNA. Mikir!