ENGGAK ada tempat penuh body shaming, kualat kebangetan, hingga rasis, selain tongkrongan. Bayangkan dianugerahi nama kece penuh makna mendalam Alex Morgan Kusumanegara sekonyong-konyong diganti Alex Senyum gara-gara kelewat jutek. Belum lagi nama bokap-nyokap bisa-bisanya didaulat jadi nickname seumur hidup. Lagian kurang rasis gimana tiba-tiba dipanggil Andi Jawir, Jack Ambon, Ilham Padang, dan lainnya.
Meski begitu, semua fine-fine aja karena udah saling kenal sampai tulang-tulang. Di tongkrongan, segala jenis larangan sudah pasti berubah pemakluman. Asalkan sama-sama sepakat enggak slek! Ibaratnya, tongkrongan kayak rumah kedua karena jadi tempat paling elementer tiap orang memasuki dunia pergaulan.
Di negeri aing sebenarnya semua orang doyan nongkrong. Dari bocah, anak muda, bapak-bapak, sampai emak-emak emang senang ngumpul sekadar gegoleran, gibah, mimik galak, ngegame, gaya-gayaan ngomongin politik, hingga cecurhatan.
Bahkan, mau orang muda sampai tua hobi bikin baju seragam biar keliatan muncul semangat esprit de corps di medsos, kayak kaos supreme karang tengah, hoodie gang sengon vs everybody, vest sablon an3dis, dan hijab leopard. Semua regalia tersebut muaranya satu; biar tongkrongan kompak! Yagasih!
Tongkrongan mula-mula memang merujuk tempat orang bergaul sampai saling-kenal, bersifat konkret, namun lambat-laun menjelma menjadi roh pertemanan, bersifat abstrak, bahkan tak perlu lagi tempat secara faktual. Kan bisa aja tempat nongkrong hilang kena gusur, namun masing-masing individu tetap terikat sebagai entitas teman setongkrongan sampai maut memisahkan.
Dengan begitu, setiap individu sudah pasti terikat secara batin maupun fisik dengan tongkrongan. Enggak heran kalau tongkrongan secara alamiah membentuk gaya bahasa, langgam candaan, sampai polah seseorang menjadi khas. Maka bukan sebuah keniscayaan kalau tongkrongan sering disebut tempat kelahiran orang sebagai manusia sosial.
Di kawasan urban aja tongkrongan di negeri aing udah khas lagi unik, apalagi di setiap daerah dengan keanekaragaman kultur dan tradisi. Bahkan, tempat nongkrongnya beda-beda, semisal di tanah Jawa biasa di angkringan, di Medan biasa lapo, lalu orang Tionghoa di kong kwan, dan masih banyak lagi.
Cara paling mujarab melihat 'orang Indonesia' paling otentik tak lain tak bukan dengan meneroka tongkrongan. Orang bisa benar-benar menjadi diri sendiri saat di tongkrongan meski masih mengenakan seragam kerja, kostum klub, bahkan baju partai. Alasan tersebut membuat redaksi merahputih.com memilih tema Tongkrongan Negeri Aing di sepanjang Maret 2021 untuk mendokumentasikan keunikan serta keotentikan pergaulan orang Indonesia termutakhir.
Eits, jangan pernah anggap sepele tongkrongan. Perubahan tidak lahir di tempat formal, melainkan tongkrongan. Di pengujung Orde Baru, fakta-fakta berkait kebobrokan rezim Soeharto hadir di angkringan, warung kopi, dan tongkrongan sejenisnya lalu masuk ke rumah, kelas, kantor, sampai memicu protes besar di jalanan menuntut reformasi. Begitulah the power of tongkrongan.
Namun, di masa pandemi COVID-19, masing-masing orang kudu menahan diri melepas kangen nongkrong bareng teman. COVID-19 nyata dan tak bisa dianggap sebelah mata. Paham kok gengz kangennya udah sampai di ubun-ubun, apalagi bulan ramadan udah di depan mata tapi bayang-bayang nongkrong main ceki sambil gitaran nunggu sahur seketika buyar sebab harus di rumah aja memtus mata rantai penyebaran COVID-19.
Kebayang enggak sih bulan puasa tuh momen terbaik orang pada nongkrong. Makin malam makin rame. Dagangan banyak. Teman lama muncul lagi dengan dalih buka bersama, sahur on the road, atau bakti sosial. Astaga kangen parah!
Mungkin hikmahnya di musim puasa kedua masa pandemi, manusia memang diminta berpuasa nongkrong tatap muka secara langsung di mana pun tak terkecuali. Namun, tak ada rotan akar pun jadi. Masih bisa kan nongkrong virtual melalui live ig bareng, meeting daring, grup whatsapp, mabar, sampai clubhouse tetap asyik kok. Intinya, harus "adil sejak dalam tongkrongan". Mabar enggak mabar asal ngumpul! (*)