KEBAYANG enggak sih kalau pemuda di masa revolusi pada kalem, nurut aturan, dan bodo amat sama keadaan. Tentu Belanda keenakan karena kaum bumiputera gampang diatur, persis "kebo dicocok hidung".
Jelas kaum bumiputera bukan kebo melainkan manusia nan bosan terhadap segala bentuk penjajahan. Mereka berusaha keluar dari rongrongan kolonialisme lewat serangkain pidato agitasi, tulisan-tulisan di surat kabar, berserikat, dan enggak jarang melakukan pemogokan bahkan pertempuran fisik.
Pemerintah Belanda mencap kaum pergerakan "Nakal", "Pemberontak", sehingga harus mendapat hukuman bui dan pembuangan. Anak-anak "Nakal" itu kelak menjadi founding father Indonesia. Sukarno, misalnya, berkali-kali dipenjara dan diasingkan lantaran mengagitasi masyarakat luas untuk melawan kolonialisme.
"Kesalahanku cuma oleh karena aku tidak menutup mulutku yang besar sebagaimana mereka harapkan setelah aku keluar dari penjara,” kata Sukarno pada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Enggak cuma Sukarno, berderet tokoh lain dengan bentuk "kenakalan" masing-masing, bernasib lebih kurang serupa antara bui dan pembuangan. Begitulah cara kolonial merespon tuntutan bumiputera; dicap nakal dan dikriminalkan.
Meski begitu, pemenjaraan enggak bikin kaum pergerakan surut langkah. Mereka terus berjuang sampai tetes darah penghabisan. Maka, mutlak bagi seluruah anak negeri untuk merebut kemerdekaan. Bukan meminta, apalagi menunggu hadiah kemerdekaan.
Para pemuda lantas bereaksi dengan segala kenekatan mendorong sekuat tenaga bahkan "menculik" kaum tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Alhasil, Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pekik "Merdeka! Merdeka! Merdeka!" pun menggema lewat aksi "nakal" anak negeri.
Namun, setelah merdeka, apakah kenakalan masih aktual?
Ya jelas banget gengz. Meski Belanda sudah minggat, penjajahan dalam bentuk lain ternyata terus ada. Buktinya, pengekangan terhadap kebebasan bersuara dan berserikat, korupsi, kolusi, dan nepotisme justru merajalela pada masa Orde Baru di bawah Soeharto.
Merespon hal itu, mahasiswa "nakal" berbondong-bondong meninggalkan ruang kuliah untuk turun ke jalan bersama rakyat menumbangkan rezim Orba. Soeharto pun terjungkal dari kursi presiden.
Di masa kini, anak-anak muda memang tak lagi berhadapan dengan senjata seperti pada masa revolusi, atau rezim tiran Orba. Mereka tentu punya "lawan" baru untuk diterjemahkan sendiri.
Bertepatan dengan Hari Remaja dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, merahputih.com mengangkat tema "Enggak Nakal Enggak Merdeka" untuk mengcapture peran anak muda sekaligus menjernihkan arti "nakal" dari stigma negatif.
Kami merajut peringatan Hari Veteran, Hari Remaja, dan Peringatan HUT Kemerdekaan RI dalam satu bingkai utuh, kenakalan dan semangat kemerdekaan.
Perlu diingat gengz, nakal enggak berarti negatif lo dan beda jauh dengan songong apalagi jahat. Kalo kata Jason Ranti, "Nakal Boleh, Jahat Jangan".
Nakal merupakan sarana kreatif seseorang untuk mengadjust sebuah nilai lama atau berlaku di masyarakat menjadi nilai baru. Mula-mula mereka menolak sebuah nilai nan dianggap mengekang dan sudah tidak sesuai jaman hingga akhirnya berubah menjadi nilai baru nan diterima. Misalnya, rambut gondrong dan tato.
Di masa Orde Baru, gambaran orang gondrong dan tato erat kaitannya dengan kriminal. Pemerintah bahkan punya obat ampuh untuk membasmi keduanya; Petrus (Penembak Misterius) menembak mati orang-orang dengan tubuh bertato dan Razia Rambut Gondrong.
Alih-alih negara mencap anak bertato dan gondrong nakal bahkan kriminal justru berbuah perlawan pada bidang industri kreatif, misalnya seniman bahkan mahasiswa progresif. Mereka menolak tunduk!
Bahkan, lewat kisah layar lebar berjudul "Ali Topan Anak Jalanan" sosok Ali Topan merupakan gambaran utuh "nakal" untuk melawan nilai dan kekakuan norma sosial saat itu.
Meski terus mendapat stigma buruk, tiap jaman akan selalu lahir representasi sosok "nakal" selama hadir kebuntuan mengenai tatanan nilai di masyarakat. Dari Ali Topan sampai Dilan. (*)