Yusril Sebut Putusan MK Soal Presidential Threshold Merupakan Tragedi Demokrasi

Mula AkmalMula Akmal - Jumat, 08 Juli 2022
Yusril Sebut Putusan MK Soal Presidential Threshold Merupakan Tragedi Demokrasi
angkapan layar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Kamis (7-7-2022). ANTARA/Muhammad Zulfikar

MerahPutih.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mementahkan gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) tahun 2017 yang diajukan pimpinan DPD RI dan petinggi Partai Bulan Bintang (PBB).

Ketua MK, Anwar Usman menyatakan, Pemohon I atau Ketua DPD RI, LaNyalla Mattaliti tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Baca Juga:

MK Tolak Gugatan Yusril soal PT 20 Persen, La Nyalla Cs Terjegal Legal Standing

Sementara, Pemohon II atau Ketum PBB, Yusril Ihza Mahendra disebut memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Namun, pokok permohonan Yusril tidak beralasan menurut hukum.

Yusril angkat bicara menanggapi putusan tersebut. Ia mengatakan, MK sudah berulangkali menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu, meskipun para pemohon mengajukan pengujian dengan pasal UUD 45 yang berbeda dan argumentasi konstitusional yang berbeda.

"MK tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai “yurisprudensi” yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 45," kata Yusril dalam keterangannya, Kamis (7/7).

Dalam putusannya, MK selalu mengemukakan argumen bahwa norma Pasal 222 untuk memperkuat sistem Presidensial. Padahal, kata Yusril, “executive heavy” yang ada dalam UUD 45 sebelum amandemen sudah sejak lama ditentang.

"UUD 45 pasca amandemen justru menciptakan check and balances antar lembaga negara," ujarnya.

Menurut Yusril, tidak ada hubungan korelatif antara presidential treshold dengan penguatan sistem Presidensial, sebagaimana selama ini didalilkan MK. Sebab, politik sangat dinamis dan oposisi bisa berubah menjadi partai pemerintah hanya dalam sekejap.

Baca Juga:

Kakak Yusril Ihza Mahendra Gabung Partai Demokrat

"Pasal 222 itu adalah 'open legal policy' Presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK. Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional," jelas dia.

Yusril berpandangan, MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula, karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang.

"MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikritik para akademisi, sehingga terkesan kaku dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita," kata dia.

Dengan ditolaknya permohonan PBB dan pimpinan DPD, serta permohonan-permohonan lainnya, Yusril menilai demokrasi Indonesia semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan.

"Calon presiden dan wakil presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR," ujarnya.

Yusril melanjutkan, capres yang maju adalah calon yang didukung oleh parpol berdasarkan threshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya. Padahal, dalam lima tahun itu, para pemilih dalam Pemilu sudah berubah, begitu pun dengan formasi koalisi dan kekuatan politiknya.

"Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK. MK bukan lagi 'the guardian of the constitution' dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi 'the guardian of oligarchy'. Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita," tutup Yusril. (Pon)

Baca Juga:

Partai Besutan Yusril Sowan ke Rumah Anies, Bahas Pilpres 2024?

#MK #Mahkamah Konstitusi #Presidential Threshold #Pemilu #Yusril Ihza Mahendra
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan