MerahPutih.com - Setara Institute menilai dua tersangka kasus penodaan agama, Muhammad Kece dan Yahya Waloni lebih tepat dijerat dengan pasal hasutan dan kebencian berdasarkan agama.
Kasus keduanya dapat menjadi momentum untuk melembagakan penggunaan pasal hasutan dan kebencian berdasarkan agama.
Baca Juga
"Setara Institute memandang bahwa kasus Muhammad Kece dan Yahya Waloni adalah momentum untuk melembagakan penggunaan pasal-pasal hasutan dan kebencian berdasarkan agama," kata Wakil Ketua BP Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (27/8).
Setara Institute mengapresiasi penangkapan terhadap kedua yang menggunakan sentimen keagamaan untuk memantik segregasi lintas iman, memprovokasi eksklusi, mengancam kohesi sosial, dan merusak koeksistensi damai dalam kebinekaan tersebut.
Namun, Setara Institute menilai tidak tepat jika keduanya dijerat dengan pasal penodaan agama. Setara Institute mendorong Polri untuk melakukan moratorium penggunaan pasal penodaan agama.
Pihak Kepolisian seharusnya melakukan terobosan hukum untuk menjerat keduanya dengan pasal-pasal hasutan dan kebencian yang ada, baik dalam KUHP maupun di luar KUHP.
Dorongan ini disampaikan lantaran dalam penelitian Setara Institute, pasal-pasal penodaan agama lebih banyak digunakan untuk menghukum perorangan dan melindungi kelembagaan agama.
Akibatnya, pasal-pasal penodaan agama tidak memberikan jaminan perlindungan atas hak perseorangan untuk menikmati pilihan merdeka berdasarkan hati nurani atau conscience untuk memeluk agama atau berkeyakinan.
"Bahkan yang sering terjadi, pasal-pasal penodaan agama digunakan untuk menghukum interpretasi perseorangan yang berbeda dari keyakinan keagamaan arus utama atau mainstream," kata Bonar.

Padahal, kata Bonar, dalam prinsip dasar hukum internasional, yang harus dilindungi bukanlah agama, tetapi kebebasan perorangan yang menganut agama tertentu.
Untuk itu, pilihan bebas dan berdasarkan hati nurani tidak boleh seseorang atau kelompok direndahkan hanya karena pilihannya itu.
"Oleh karena itu, Indonesia dan aparat hukumnya sebagai bagian dari negara beradab dalam komunitas internasional mestinya menghentikan penggunaan pasal-pasal penodaan agama," katanya.
Dalam penelitian Setara Institute mengenai rezim penodaan agama selama periode 1965-2017, penegakan hukum menggunakan pasal-pasal penodaan agama seringkali mengekalkan pendekatan mayoritas dan minoritas.
Penegakan hukum pidana sering dilakukan dengan tebang pilih terhadap pelaku dan kasus tertentu. Beberapa kasus yang melibatkan pelaku dari kelompok agama mayoritas yang merendahkan penganut agama minoritas jarang diproses hukum.
Menurut Bonar, ceramah-ceramah Yahya Waloni yang kerap merendahkan iman kristiani sudah sangat lama dipersoalkan, demikian pula dengan beberapa penceramah lainnya.
"Namun, polisi baru memproses Yahya Waloni setelah mengemuka kasus Muhammad Kece yang merendahkan simbol, ritus, dan doktrin keislaman," katanya.
Selain itu, Setara Institute juga mendesak pemerintah dan DPR untuk menghapus pasal-pasal penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dalam proses pembahasan.
Sebagai gantinya, Setara medorong dirumuskannya pidana hasutan atau incitement dan pidana kebencian hate crime berdasarkan sentimen keagamaan.
"Selebihnya, kita tidak kekurangan pakar dan akademisi hukum pidana untuk merumuskan element of crime dalam pidana hasutan dan kebencian atas dasar agama dan keagamaan," jelas Bonar
Diketahui, Muhammad Kace ditangkap oleh Bareskrim Polri di Bali pada 24 Agustus 2021 dan Yahya Waloni ditangkap dua hari berselang atau tepatnya pada Kamis (26/8). Keduanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal penodaan agama. (Knu)
Baca Juga
Dianggap Meresahkan, Semua Konten Video Yahya Waloni Bakal Di-takedown