Opini

Wujud Perlindungan Hukum Tenaga Kerja di Era Revolusi Industri 4.0

Wisnu CiptoWisnu Cipto - Selasa, 28 Mei 2019
Wujud Perlindungan Hukum Tenaga Kerja di Era Revolusi Industri 4.0
Ilustrasi revolusi industry 4.0. (Net/Ist)

DUNIA sudah memasuki era revolusi industry 4.0 dengan internet memegang peranan penting dalam kehidupan sehari hari kita. Kemajuan era digital informasi membawa kemajuan positif bagi dunia industri, tetapi di sisi lain juga menimbulkan masalah hukum ketenagakerjaan. Tak bisa dihindari, revolusi industri ini berpotensi menyebabkan banyak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Berdasarkan kajian McKinsey Global Institute, sebanyak 52,6 juta lapangan pekerjaan di Indonesia terancam tergantikan automatisasi. Bahkan, sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia terancam kehilangan pekerjaan pada 2030. World Economic Forum (WEF) pada tahun lalu merilis laporan bertajuk Future of Jobs Report 2018, yang mengungkapkan beberapa bidang pekerjaan takkan lagi dibutuhkan dan akan digantikan dengan profesi baru pada 2022.

BACA JUGA: 6 Syarat Mutlak Kecerdasan Buatan Pendukung Revolusi Industri RI 4.0

Di Indonesia sendiri PHK akibat digitalisasi atau omotomatisasi, masif terjadi di tahun 2018. Kurang lebih 100 ribu pekerja kehilangan pekerjaannya sebagai akibat pergerakan ekonomi digital. Sektor retail, perbankan, transportasi, dan manufaktur khususnya otomotif, teksil, dan elektronik rentan mengalami pemutusan hubungan kerja dikarenakan digitalisasi dan otomatisasi. Angkanya mencapai sekitar 100 ribu lebih pekerja.

Labor Institute Indonesia memprediksi di tahun 2019, PHK di sektor-sektor itu akan semakin masif terjadi. Pemerintah perlu mengantisipasi dengan membuat blue print strategi penciptaan lapangan kerja di era digitalisasi. Sebagai akibat terjadinya PHK tersebut, menimbulkan tumbuhnya informalisasi tenaga kerja dengan akan semakin menjamurnya pekerja kaki lima (PKL) atau pekerja mandiri.

PHK Bukan Solusi

indsutri 4.0
Tengah terjadi revolusi dari analog menjadi digital. (Foto: Pixabay/geralt)

Mahkamah konstitusi telah membuat putusan atas uji materi pasal 164 ayat 3 UU nomor 3 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan dengan membuat penafsiran yang jelas tentang efisiensi dimana pengusaha hanya boleh mimilih jalan PHK apabila perusahaan tutup secara permanen. Menurut Profesor Dr. Mahmud MD yang merupakan ketua MK saat itu menyatakan alasan efisiensi saja tidak bisa dijadikan alasan PHK, PHK merupakan pilihan terakhir efisiensi perusahaan.

Perusahaan bisa melakukan PHK asalkan sudah menempuh berbagai upaya efisiensi seperti yang tertuang dalam hukum ketenagakerjaan di antaranya melakukan pengurangan upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, mengurangi shift kerja, menghilangkan kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, dan merumahkan pekerja secara bergilir, tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya, dan memberikan pensiun bagi yang memenuhi syarat.

BACA JUGA: Hadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0, Jokowi Akan Dirikan 1000 BLK Pesantren

Untuk mengantispasi PHK secara massal, pengusaha wajib membuat perencaanan ketenagakerjaan dan memetakan posisi apa yang akan hilang dan posisi baru apa yang akan dibutuhkan dalam perusahaan. Dari situ maka rencana transformasi keahlian dan keterampilan bisa diidentifikasi dan dipersiapankan melalui perencanaan pelatihan dan pengembangan untuk tiap individu pekerja.

Pengusaha tidak bisa lagi terlalu fokus pada peningkatan produksi saja dan mengabaikan program pelatihan dan pengembangan, untuk dapat menghadapi revolusi industry 4.0 dan menghindari PHK secara massal kedua belah pihak baik pekerja dan pengusaha harus dapat merubah pola pikir, pola kerja, dan menyediakan waktu untuk program pelatihan, karena apabila transformasi keterampilan tidak dapat berjalan dengan cepat maka PHK tidak bisa dihindari.

Model Pekerjaan Baru

industri 4.0
Perlunya pengetahuan dan teknologi untuk tidak tertinggal. (Foto: Pixabay/geralt)

Revolusi industry 4.0 menimbulkan banyak jenis pekerjaan baru hal ini menyebabkan timbulnya bentuk hubungan baru diantara pengusaha dan pekerja yang bentuknya berbeda dengan sebelumnya, ini disebut dengan atypical worker. Mereka adalah para pekerja yang memiliki hubungan kerja non-konvensional dengan pemberi kerjanya.

Kata non-konvensional di sini mengacu pada tidak adanya kontrak kerja jangka panjang, pemberian fasilitas tambahan, cuti berkala, maupun benefit lainnya yang biasa didapatkan typical worker. Berubahnya bentuk hubungan di dalam konteks atypical worker disebabkan kebutuhan dari industri-industri baru yang berbeda dengan industri konvensional lainnya.

BACA JUGA: Industri 4.0 di Depan Mata, Jangan Ketinggalan

Para atypical worker ini kebanyakan berasal dari generasi milennial yang tidak terlalu menyukai bentuk hubungan yang tidak terikat. Pemberi kerja pun sebenarnya juga ikut diuntungkan dengan bentuk hubungan kerja atypical worker antara lain:

a) Berkurangnya pengeluaran pemberi kerja untuk jangka panjang. Dengan tidak adanya kontrak formal, maka pemberian benefit seperti fasilitas tambahan di luar gaji dengan berbagai bentuknya tidak perlu diberikan oleh pemberi kerja.

b) Pengaturan jumlah pekerja yang jauh lebih fleksibel. Dengan skema kerja atypical, pemberi kerja dapat menambah atau mengurangi jumlah pekerja secara hampir instan. Kemudahan ini membuat pemberi kerja dapat mengurangi risiko kerugian karena underutilization secara signifikan.

c) Sangat sesuai dengan kebutuhan industri masa kini. Atypical worker biasanya sangat tertarik dengan sistem kerja non-kontrak ini karena mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki banyak orang. Kemampuan tersebut biasanya berhubungan dengan industri-industri baru yang bermunculan.

kecerdasan buatan
AI memancing berbagai kecemasan. (Foto: The Next Web)

UU nomor 3 tahun 2013 menyatakan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Sayangnya, saat ini hukum ketenagakerjaan belum dapat mengakomodir jenis hubungan kerja baru yang timbul saat ini.

Termasuk di antaranya sistem kemitraan yang banyak bermunculan saat ini karena masih bias siapa pemberi kerja, siapa yang memberikan perintah, dan siapa yang memberikan upah. Misalnya, kini banyak pekerja yang siang hari bekerja penuh waktu di satu perusahaan, tetapi di malam hari atau di akhir pekan mereka menjadi pekerja paruh waktu untuk perusahaan lainnya.

Aturan ketenagakerjaan kita belum dapat mengakomodir kesepakatan antara pengusaha dan pekerja di luar perjanjian kontrak karyawan, seperti perikatan kerja sama atau kemitraan. Akibatnya, para pekerja kebanyakan tidak mendapatkan hak-hak pekerja seperti upah yang pantas, hak cuti, tunjangan hari raya, jaminan sosial dan hak-hak lain yang tercantum dalam UU nomor 3 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

Kemudahan akses internet saat ini juga membuat pekerja tidak bisa terlepas dari pekerjaan. Begitu mudahnya rekan kerja, atasan dan klien bisa menghubungi pekerja tanpa kenal waktu dan terkadang dengan permintaan yang tinggi untuk mendapatkan jawaban dan tindak lanjut saat itu juga. Kondisi ini dapat membuat pekerja tidak bisa mendapatkan waktu istirahat yang cukup dan bila tidak diantisipasi bisa menyebabkan mental health problem bagi pekerja.

Namun, memang tidak semuanya negatif kemudahan akses internet dan kemajuan teknologi memungkin pekerja bekerja dari mana saja dan kapan saja mereka bisa berkerja dari rumah, dari coffeshop, dari co-working space. Kondisi ini memberikan kemudahan untuk para ibu pekerja dan pekerja yang tinggal di sub urban area jadi tidak harus tiap hari terjebak kemacetan.

Fleksibilitas yang ditimbulkan dari revolusi industry 4.0 memang memiliki dampak positif dan negatif bagi kedua belah pihak pengusaha dan pekerja. Hanya saja dari segi aturan ketenagakerjaan fleksibilitas tidak boleh terjadi, harus ada kepastian hukum yang dapat mengadopsi perubahan ini. Undang Undang nomor 13 tahun 2003 beserta turunannya dituntut harus dapat mengakomodir secara spesifik perubahan-perubahan yang ada seriring perkembangan zaman. Pemerintah beserta pengusaha dan perwakilan pekerja harus segera duduk bersama dan bersepakat demi kebaikan bersama menyongsong era revolusi industry 4.0. (*)

wanda
Wanda Malviana. Dok Pribadi

Tulisan ini dibuat oleh Wanda Malviana,

-Praktisi Bidang Sumber Daya Manusia

BACA JUGA: Presiden Jokowi Harap Itera Lahirkan Generasi Industri Digital

#Tenaga Kerja
Bagikan
Ditulis Oleh

Wisnu Cipto

Bagikan