Wawancara Eksklusif Pemburu PKI di Yogyakarta, Burhanuddin Kampak

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Minggu, 29 Mei 2016
Wawancara Eksklusif Pemburu PKI di Yogyakarta, Burhanuddin Kampak
Burhanuddin Zaunuddin, juga dikenal "Burhan Kapak", di kediamannya, Kelurahan Brontokusuman, Yogyakarta, Rabu (25/5). (Foto: MerahPutih/Fredy Wansyah)

MerhPutih Nasional - Isu antikomunis terus mencuat, dengan diawali pembakaran logo palu arit dan buku bernuansa marxisme, leninisme, dan komunisme. Di berbagai tempat, kegiatan dan pemutaran film yang disinyalir terkait marxisme, komunisme, dan leninisme diberedel.

Begitu pula di Yogyakarta. Diskusi dan pemutaran film dilarang, meskipun kegiatan itu berada di ranah akademik. Di Kota Pelajar ini pula berdiri Forum Anti Komunis Indonesia (FAKI), sebuah organisasi yang sering menghalau kegiatan-kegiatan "kiri." Pendirinya ialah Burhanuddin Zainuddin atau dikenal Burhan Kampak.

Pada Rabu (25/5) siang, wartawan merahputih.com, Fredy Wansyah, menemui Burhan Kapak di rumahnya, Bontokusuman, Yogyakarta. Berbagai pengalaman dan pandangannya terkait antikomunis pun dibeberkan. Berikut petikan wawancaranya.

Fredy: Bagaimana pandangan Bapak, sebagai pelaku sejarah 1965, melihat wacana rekonsiliasi yang ada di dalam Simposium 65?

Burhan: Baru hari ini muncul lagi rekonsiliasi. Perlu diingat ya, rekonsiliasi sudah pernah terjadi secara alamiah. Itu sekitar tahun '70-an. Itu sudah pernah terjadi. Kalau tadi dikatakan rekonsiliasi orang yang pernah berseberangan lalu kembali, ini kan sudah pernah terjadi secara alamiah rekonsiliasi ini. Mereka, orang-orang mantan Partai Komunis, sudah menyerah dan menyatakan ikrar sumpah setia kepada NKRI dan Pancasila untuk menjadi warga negara yang pancasilais. Itu sudah pernah terjadi. Dan kami orang-orang yang dikatakan berhadapan tadi, yang berhadapan dengan mereka itu, kita terima dengan baik, welcome itu. Lepas dari tahanan, ya kita terima dengan baik. Tidak ada yang kita usir. Dulu banyak sekali di sini tahanan-tahanan itu. Sampai di sini ya silakan, wellcome. Lalu dia jadi anggota masyarakat. Ini contoh yang di sini, loh. Nah, lainnya juga begitu. Yang ibu-ibu sudah ikut pengajian di sini. Majlis taklim. Ha, bagus kan. Jadi di bawah ini gak ada apa-apa kok. Sudah terjadi rekonsiliasi.

Baru setelah tahun '80 ke sini mulai, tokoh-tokohnya itu berulah. Tanda petik berulah. Menuntut mengeluarkan apa. KKR, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.  Kami ini yang dikatakan, orang-orang PKI bukan pelaku, tapi korban. Terakhir di '65. Ya cuci tangan terus, mengatakan bukan pelaku. Saya katakan, 'ya benar korban, tapi kamu yang memulai. Awal pelakunya, kamu yang memulai makanya jadi korban.' Akhirnya kami bangkit menghadapi. Gitu loh. Lah, kok sekarang macam-macam kegiatannya. Ini perlu dicurigai. Orang-orang mereka ujug-ujug adakan simposium. Kata Taufik Ismail. Saya menganalisanya, jangan-jangan ini ada kekuatan di luar Indonesia yang memanfaatkan orang-orang ini untuk agar Indonesia hancur. Itu antara Tingkok, RRT, sama Amerika itu.

Fredy: Jadi dalam analisa Bapak, mereka itu dimanfaatkan?

Burhan: Iya, dimanfaatkan. Dengan gerakan. Seakan-akan, sesuai keadaan reformasi, HAM, pelaksanaan demokrasi, tegaknya hukum, dan sebagainya. Lalu HAM, HAM, HAM, apa itu. Ndak karuan itu. Ini saya punya analisa, jangan-jangan ini ada kekuatan asing. Ya tadi, Amerika sama RRT itu. Yang tidak ingin Indonesia tanah airku, bangsa Indonesia bangsaku yang besar ini, untuk membangun, untuk berjaya.

Fredy: Kenapa Bapak hanya menarik analisa ke dua negara itu?

Burhan: Karena dua negara ini sekarang sedang bersaing. Jadi diantara analisa mereka itu dimanfaatkan dengan gerakan mereka itu seakan-akan, sesuaikan ada reformasi Ham, pelaksanaan demokrasi tegaknya hukum dan sebagainya lalu ham-ham apa gitu? Gak karuan. Jangan-jangan ini ada kekuatan asing di belakang ini, curiga sama RRT itu sama Amerika yang tidak ingin melihat indonesia tanah air ku bangsa indonesia bangsaku yang besar ini untuk membangun berjaya.

Karena dua negara ini sekarang sedang bersaing dan punya kepentingan kepada negara bangsa Indonsia yang di aset negara yang besar ini, negara yang strategis ini mereka ingin, minimal mempengaruhi , ingin menguasai, ini bangsa Indonesia harus sadar. Ini kok mereka ujuk-ujuk wah, seakan-akan riuk, enggak ada betul di tingkat bawah enggak ada apa-apa, akhirnya apa? Nampaknya anak-anak seperti Ilham (Aidit) anaknya tokoh-tokoh itu PKI itu dengan rasa kusumatnya itu bangkit untuk mencuci dirinya bahwa dia adalah korban bukan pelaku, akhirnya itu dia sudah dapat status sebagai korban bukan pelaku berarti dia orang yang dizolimi cengkikannya. Akhirnya apa dia, dia benar yang salah orang yang berseberangan tadi, akhirnya dia apa? Minta nanti kalau kita diadili, diadili Tribunal Court (Peradilan Pidana Internasional), minta kompensasi, ini permintaannya sudah jelas mengarah ke sana, dan mereka tidak banyak tokoh-tokohnya itu. Cuma ya itu saya kira mereka itu dimanfaatkan ya oleh kekuatan asing.

Menurut saya itu RRT sama Amerika itu punya kepentingan. Berkali-kali mereka coba menghancurkan bangsa Indonesia tidak bisa, tetap tegak NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 ini. Perlu sebagai generasi muda dihayati dan dicamkan betul nanti menjadi calon-calon pemimpin. Kalau saya kalau toh itu direkonsiliasi macam ini sekarang jadi riuk, satu yang saya setuju hilangkan dendam kusumat mereka terhadap orang yang berseberangan lalu mengadakan perdamaian total, kalau sudah tidak dendam terhadap orang yang berseberangan lalu mengadakan perdamaian total. Sudah. Tidak dengan rasa dendam. Kalau orang tidak punya dendam, clear kan masalahnya. Ya sudah. Selesai, masa lalu ya selesai sudah. Masa lalu mereka, waktu masa pemulihan dan ketertiban keamanan, mereka kumpul di satu lapangan, tempat-tempat terbuka begitu, dia menyatakan membubarkan diri.

Fredy: Di mana saja itu tempatnya, Pak?

Burhan: Woh, di mana-mana. Mereka menyatakan bahwa membubarkan diri Partai Komunis Indonesia, dan bersumpah menjadi warga Indonesia yang pancasilais. Itu saya dengar sendiri. Lalu, berproses gitu kan. Kalau sekarang, semacam ditanya-tanyai, diinterogasi. Ini tokohnya. Nah, terus diklasifikasi, ini A ini B, tokohnya ini. Takutnya ada yang ikut-ikutan. Lalu yang B atau A ditahan. Yang banyak itu yang C, yang ikut-ikutan, cuma semacam santiaji (menjelaskan pengertian santiaji). Jadi itu semacam menyatakan bahwa kamu telah ditipu. Dengan segala janji-janjinya, ya toh. Di proses santiaji itu, kita jelaskan bahwa itu tidak benar, negara kita berasaskan Pancasila. Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia itu mesti beragama. Dua, Manusia yang Adil dan Beradab. Tidak beradab seperti orang komunis, selalu menyiksa orang lain, ya toh. Selalu meneror orang lain. Selalu merusak tatanan kehidupan. Ya toh. Yang sudah terjadi dengan baik. Aksi sepihak, meneror, menganiaya, membunuh, itu luar biasa. Jadi doktrinnya partai komunis di seluruh dunia itu, selama 76 tahun, di 74 negara, partai komunis yang ingin berkuasa pasti melakukan pemberontakan dengan kekerasan.

Sekarang kan mereka merasa dirinya korban Tragedi 65. Itu bukan berdiri sendiri di tahun '65. Kita ke belakang, kan ada peristiwa tahun '48. '48 itu juga bukan berdiri sendiri, ada tahun '26. Di masa penguasaan kolonial Belanda, PKI itu sudah berontak tahun 1926. Tapi diredam, entah apa istilahnya, entah dibasmi, oleh pemerintah kolonial. Tokohnya Musso, lalu Darsono, lari ke Rusia. Karena takut, lari ke sana. Lalu orang-orang di sini ya sudah. Selesai ya enggak ada masalah. Setelah menjelang tahun '48, Musso kembali ke Indonesia. Mengaku titisannya Nabi Musa. Muso itu ya ngakunya gitu, titisan Nabi Musa. Lalu melakukan konsolidasi dengan orangnya. Tahun '48, pemerintah, pimpinan presiden kita, proklamator kita, baru menata kehidupan kita. Mempertahankan kita karena mau dijajah lagi. Musso ini membuat suasana tidak kondusif untuk melakukan pemberontakan berdarah di Madiun. Alasannya, bahwa itu provokasinya (Mohammad) Hatta, yang memecah angkatan perang itu. Karena Hatta punya rencana ReRa, reorganisasi dan rerasionalisasi tentara nasional. Tentara kan banyak dari laskar macam-macam. Diorganisir, ditata. Rasionalisasi itu ya, mbok jangan lulusan SD kok jadi kolonel. Misalnya gitu. Ditata sesuai rasionalisasi. Itu lalu di-bully oleh kelompok-kelompok orang komunis supaya terjadi penolakan itu. Lalu ada peristiwa di Solo, militer sama militer itu. Awalnya itu. Lalu dibawa ke Madiun. Lalu melakukan pemberontakan berdarah, mendirikan Republik Rakyat Sovyet Madiun. Di bawah pimpinan Muso. Itu melakukan pembantaian. Itu banyak kuburan massal di sana itu. Terutama ulama, kyai pesantren. Santri-santrinya, juga polisi pamong praja. Banyak dibunuh. Pak Edi Swasono, punya adik namanya Sri Bintang, bapaknya juga dibunuh PKI itu. Buanyak (banyak) itu. Kalau Anda pernah ke Jawa Timur lewat Ngawi, ada patung menunjuk ke sana (sambil memperagakan patung), Gubernur Suryo, diseret sama mereka. Sampai meninggal.

Fredy: Jadi arah patung itu ada pesannya terkait kematiannya?

Burhan: Iya, itu menunjuk tempat dia meninggal.

Fredy: Bagaimana gambaran pemberontakan mereka (PKI dan organisasi yang berafiliasi) di sini (Yogyakarta), sekira tahun 40-an hingga 60-an?

Burhan: Tahun '48, pemerintahan di sini masih eksis. Pas itu, Bung Karno dan Bung Hatta mengatakan, basmi pemberontak itu. Ikut Musso atau ikut Soekarno-Hatta. Begitu pidato Sukarno waktu itu, tahun '48. Padamkan, basmi.

Fredy: Bapak, waktu Sukarno pidato itu, sedang di sini?

Burhan: Iya, saya masih di Jogja itu. Lalu, ketika itu, tentara Siliwangi, didatangkan dari Jawa Barat ke sini, untuk pemadaman pemberontakan itu.

Fredy: Pada waktu itu, sebenarnya Yogyakarta, kondisi politik dan keamanannya stabil, begitu, Pak?

Burhan: Stabil. Sebenarnya enggak ada masalah di sini, waktu peristiwa di Madiun itu. Pemberontakannya baru Madiun, terus Pati, Ngawi ke sana. Terus Purwodadi. Sekitar Madiun juga, ya Megetan, Ponorogo. Sekitar itu. Juga Tenggarek, Pacitan. Lalu, sudah, pemberontakan bisa dipadamkan, yang dari Siliwangi tadi. Tapi korban kan sudah banyak. Ulama, kyai, santri, pegawai pemerintahan, polisi, juga tentara itu buanyak sekali. Setelah dipadamkan, salah satu pimpinannya lolos ternyata. Yang namanya Dipa Nusantara Aidit. Lolos, lari ke Tiongkok, China. Dipa Nusantara Aidit itu nama Islamnya bagus kok. Pemberian orangtuanya, namanya itu Islami (beberapa saat jeda, mengingat-ingat). Namanya Jakfar Nur Aidit. Namanya Islami kan. Lalu dia ganti jadi Dipa Nusantara atau terkenal dengan DN Aidit. Dia waktu itu bisa lolos. Terus pemerintah kita, ya sudah. Yang penting bisa dipadamkan, mari kita bersatu menghadapi musuh-musuh kita yang ingin merampas kemerdekaan kita lagi. Ada aksi diserbu Belanda lagi waktu itu, ya toh. Sudah selesai, gak ada masalah. Dan kita bisa mengusir Belanda di Jogja. Dengan tokohnya itu Pak Soeharto. Dikenal dengan serangan 1 Maret.

Tahun '50 itu, DN Aidit kembali ke Indonesia, dengan kapal laut. Yang jemput, dibantu oleh Sjam Kamaruzaman, sebagai ketua biro khususnya PKI yang perencana penculikan jenderal-jenderal itu. Itu Aidit diselamatkan itu. Tahun itu, tahun '50, Aidit kembali mendirikan partai komunis. Setelah itu, dia mengeluarkan buku putih, bahwa PKI tidak salah. Berontak tidak salah itu, bahwa dia gak berontak, gitu? Terus tentara yg berontak, gitu? Karena tentara diprovokasi oleh tentara. Ya itu tadi, ReRa tadi. PKI buat buku putih. PKI tidak salah. Lalu mendirikan partai komunis lagi, ya sudah Bung Karno dan Bung Hatta enggak masalah lagi. Tahun '55, diadakan pemilu pertama kali. Partainya yang besar itu kan, PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Di Jogja ini, PKI yang menang. PNI, Masyumi, NU, tiga partai ini jadi satu, gak ada separuhnya PKI. Ini ada dokumennya. Merasa dia menang, ya toh, secara nasional dia pemenang keempat. Lalu dia menyiapkan diri, merencanakan, merebut kekuasaan dengan cara kekerasan.

Fredy: Bisa dikatakan, seperti paparan Bapak tadi, sejak itu Yogyakarta jadi merah?

Burhan: Oh iya. Mereka melakukan teror-teror. Di desa-desa itu banyak slogan-slogan 'Ganyang 7 Setan Desa, 'Ganyang 3 Setan Kota'. Ya gitu-gitu. Programnya Land Reform. Dengan iming-iming, seluruh penduduk itu, dengan slogannya, sama rata sama rasa. Apa bisa sama rata sama rasa? Itu cuma propaganda kosong. Setelah itu, mereka makin kuat, terus merancang kekuasaan. Dan memang, PKI makin kuat. Karena apa, Bung Karno mungkin lupa masa lalu, Bung Karno bukan pendendam, jadi ya sudahlah. Mari sama-sama kita membangun bangsa ini. Tapi PKI dengan sifat culas... (nada bicara meninggi), doktrinnya partai itu memang, rebut kekuasaan dengan revolusi, dengan kekerasan. Mereka kan sudah merencanakan. Maka, jelang tahun '65, mereka itu, menteror masyarakat di desa-desa. Aksi sepihak. Orang yang punya tanah, tanah dikuasai.

Fredy: Penguasaan tanah seperti itu ada terjadi juga di sini, Pak?

Burhan: Ya ada. Di desa-desa ya ada. Di Klaten yang terkenal itu, yang banyak itu. Kalau di Jogja gak begitu luas. Terus Solo. Kemudian Pondok Pesantren Gontor direbut. Di Jawa Timur, aksi sepihak. Aksi pelaksanaan Undang-Undang Land Reform. Lalu meneror orang di luar mereka. Dan ketika itu, PKI memang sangat kondusif, karena Bung Karno kelihatan mendukung PKI. Tahun '60 ke sini, konsep pidato presiden waktu itu yang bikin orang-orang PKI. Pidato kenegaraan. Lalu Bung Karno membentuk Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Makin kuat komunis. Setiap kali ada musuh di luar komunis, ya sudah dicap anti-Nasakom. Terus kan pada takut. Rakyat semakin gelisah, makin takut. Kemudian di Jogja gimana? Wah, makin gila itu. Di sini, waktu itu, mereka pernah membuat ketoprak. Judulnya 'Pateni Gusti Allah.'

Fredy: Di daerah mana itu, Pak?

Burhan: Di Jogokaryan, kalau gak salah waktu itu. Lalu di sebuah masjid, di daerah Patangpuluhan, tempat wudu itu ya, huah dikotori. Kotaran manusianya malah sampai masuk. Kagetlah subuh-subuh semua orang Islam itu kan. Diteror, takut. Pengajian diganggu, dilempari. Anak-anak Pondok Krapyak, pulang pengajian itu, diteror. Dipukul. Pokoknya, siapa yg berani sama PKI dituduh anti-Nasakom. Kalau sudah begitu, apa lagi, ya dibilangi kontrarevolusi. Kalau sudah dicap seperti kata-kata Bung Karno, kontrarevolusi, mampus orang itu. Gak bisa berbuat apa-apa. Itu situasinya tahun '64.

Fredy: Pada saat gejolak itu, apa yang menggerakkan Bapak untuk ikut melawan PKI?

Burhan: Ayah saya itu militer. Pensiun, terus diminta lanjut di penerangan. Itu menteri mudanya waktu itu, Pak Baswedan, kakeknya Menteri Anies Baswedan sekarang. Terus kakak saya tentara Siliwangi. Jadi saya keturunan militer, tapi saya tidak militer. Nah itu tadi, kalau ditanya apa yang mendorong saya mau menghadapi PKI, gitu tadi toh, kebetulan juga ayah saya itu aktivis Masyumi. Dan menjadi Ketua SBII, Serikat Buruh Islam Indonesia. Itu dulu yg berafiliasi dengan Masyumi. Wuh, itu dulu diteror. Sama Sentral (Organisasi) Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) , yang berafiliasi dengan PKI. Pernah kan rumah saya diserbu, sama orang-orang itu. Tapi kita ya siap. Kita juga punya GPII, Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Saya, walaupun waktu itu masih muda, masih 15 tahun, ya siap saya. Eh, sebelum tahun '65 itu, saya usia 15 tahun. Pemilu '55 itu saya ikut. Saya manipulasi umur saya. Saya masih 15 jadi 17. Saya manipulasi itu. Walaupun ikut, tetapi ya tetap kalah ya toh. Saya tahun '65 baru usia saya 25. Karena ayah saya itu Masyumi sudah dibubarkan, HMI diminta dibubarkan, saya masuk kuliah hukum di UGM. Waktu itu gedungnya masih di Pagelaran, bukan yang sekarang. Saya aktif di HMI. Batin saya sakit betul, ayah saya dihina, dikata-katai macem-macem. Ayah saya diancam, mau dibunuh. Keluarga saya mau dihabisi. Itu karea ayah saya Kepala Serikat Buruh Islam Indonesia tadi. Saya siap waktu itu. Apa pun itu, saya siap hadapi. Ada kejadian, saya baru menempelkan gambar Masyumi di suatu tempat. Pantat saya ditendang. Kepala saya kena tembok. Terus dipentung. Wuh, kurang ajar, langsung lari orangnya. Itu pasti PKI itu. Saya baru menempelkan bintang sabit, ditendang pantat saya dari belakang.

Fredy: Pas ditendang itu, Bapak enggak mengejar atau melawan?

Burhan: Lah, saya kesakitan, kepala saya. Kena tembok, wuh dia langsung lari ke kampung. Masuk ke kampungnya PKI. PKI itu, setiap hari itu di Malioboro. Ditempeli 'Ganyang 3 Setan Kota, 'Ganyang 7 Setan Desa, 'Hancurkan Masyumi'. Macem-macem. Itu teror setiap hari. Tiada hari tiada demo. Itu menjelang '65 kan. Agresinya terus meningkat. Saya pengalaman ini di Jogja, yang saya ceritakan ini di Jogja. Di Fakultas Hukum itu sedikit mahasiswa PKI, yang terhimpun dalam CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), sedikit tapi mereka mulutnya besar. Terus-terus mereka makin keras melakukan teror. Dan memang nyatanya di Jogja menang mutlak PKI itu. Dia melakukan teror-teror tadi itu. Maka pada suatu hari, kami tanggl 1 Oktober pagi tahun '65, saya sambil ingat-ingat ini ya, hari Jumat itu ya, pagi-pagi saya salat subuh, terus olahraga main pingpong. Lalu ada warta berita, Untung (Letkol Untung) itu mengatakan bahwa telah terjadi gerakan yang sasarannya Dewan Jenderal. Maka diamankan dewan-dewan jenderal ini. Saya berhenti main, benerin pakaian, saya keluar mencari tokoh-tokoh Islam. Dan saya cari tahu. Terus akhirnya koordinasi. Ini perlu kita bahas, gitu dibilang tokoh yang saya temui. Itu hari jumat. Wuah, ternyata, hari Sabtu, mereka keluar. Rakyat, wuah buanyak sekali mereka. Dari Tugu itu, orang-orang itu banyak sekali pakai hitam-hitam. Ganyang Dewan Jenderal. Dukung Dewan Revolusi. Terus, coret-coret itu tembok. Pamflet tempel-tempel. 'Hancurkan Antek-antek Masyumi'. 'Hancurkan Antek-antek PSI. 'Hancurkan Orba'. Wuah, itu mereka ikut semua di sana. Yang jelas banyak kata-kata hancurkan Masyumi. Hancurkan antek-antek Dewan Jenderal. Setelah itu, dukung Dewan Revolusi. Tanggal 2 (Oktober) itu. Di Jogja itu sudah kebentuk Dewan Revolusi di bawah pimpinan Mulyono. Yang kemarinnya sore, tanggal 1, menculik Komandan Korem Kolonel Katamso serta kepala stafnya, Mayor Mulyono. Ini stafnya kalau gak salah Kasi Intel atau Kasi Logistik, mayor-mayornya sebagai Ketua Dewan Revolusi di Jogjakarta. Kepala korem dan kepala stafnya itu diculik, dibunuh di Batalyon 3, dulu namanya Batalyon L. Ini Batlyonnya organik Korem 72. Ketika jadi Komandan Korem, Kolonel Katamso dan kepala stafnya Letnan Kolonel Sugiyono, dan Batalyon L ini sudah kena pengaruh PKI, sehingga kedua pimpinan korem ini diselesaikan di sana.

Fredy: Pembunuhannya, persisnya di mana itu, Pak?

Burhan: Ya di situ, dibelakang Tamsis itu. Di situ ada parit, yang memberi kesaksian. Saya ndak lihat langsung. Itu dipukul kepalanya, terus mengerang. Keduanya lalu dimasukkan ke parit itu, terus ditimbun bata lagi. Itu tanggal 1 (Oktober) malam. Setelah itu, masih bulan Oktober itu, tentara dari pusat bawa Komado Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) diiringi sama Kopassus RPKAD, di bawah pimpinan (Kolonel) Sarwo Edhie Wibowo, datang ke Jogja untuk pemutihan, keamanan, dan ketertiban. Terus juga cari di mana keberadaan Pak Katamso dan Pak Sugiono. Jasadnya ketemu itu, terus dicucikan. Terus tanggal 20 (Oktober) pagi, kami, dari Kogalam, Komado Siaga Islam, laskarnya tentara Generasi Muda Islam (Gemuis), kelompok-kelompok dari NU dan Muhammadiyah jadi satu kumpul membentuk Komando Siaga Islam untuk menghadapi PKI. Itu mengadakan apel akbar di Alun-Alun dan di Korem. Terus Kodam 4 Diponegoro mengirim Kolonel Widodo sebagai Caretaker Pejabat Korem. Makanya, tanggal 20 (Oktober) siang itu, Pak Kolonel Widodo jadi inpektur upacara apel siaganya Generasi Muda Islam. Lalu di situlah Pak Kolonel Widodo menyampaikan keputusannya bahwa seluruh organisasi PKI dan underbow-nya harus dihadapi. Organisasi PKI dan underbow-nya itu diputuskan agar dibekukan, tanggal 20 Oktober. Lalu kami siap bergerak melakukan perlawanan terhadap Pemuda Rakyatnya mereka. Sasaran kita itu gedung-gedung China. Ada gedung China, namanya CHTH, miliknya Baperki. China itu dulu PKI semua. Dulu donaturnya PKI itu China-China itu. Gedung CHTH itu digunakan PKI sebagai universitasnya PKI, namanya Universitas Respublika.

Kita datangi gedung itu. Kita rebut. Ternyata di dalamnya sudah siap Pemuda Rakyat, dengan senjata macem-macem. Wuh, ada yang bawa senjata api menghadapi kita. Kauman itu mau dibumihanguskan oleh Pemuda Rakyat. Itu juga, kami dengar, mereka siap menghadapi Apel Akbar Gemuis, tapi akhirnya mereka diserbu tentara. Tentara ikut mengamankan, terus mereka dibawa dengan peti tentara, dekat Arma 11 di sini. (Fre)

BACA JUGA:

  1. Pengakuan Burhan Pemburu PKI tentang Merahnya Yogyakarta 1965
  2. Lebih Berbahaya PKI atau HTI? Ini Jawaban Goenawan Mohamad
  3. YLBH: TNI Tidak Berhak Lakukan Penangkapan Orang Berkaos PKI
  4. HMI Sebut Saut Situmorang PKI
  5. Sejarah Kelam di Balik "Genjer-genjer" Sebagai Lagu PKI
#Tragedi 1965 #Partai Komunis Indonesia (PKI) #Burhan Kampak
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan