MerahPutih.com - Pemerintah Kota Surabaya mewajibkan perusahaan yang ada di Kota Pahlawan, Jawa Timur, memiliki minimal 40 persen dan maksimal 60 persen pegawai berasal dari warga asli Surabaya.
"Itu sesuai peraturan wali kota yang mengatur perizinan dan persyaratan ketenagakerjaan. Jadi, tidak bisa 100 persen, karena Surabaya adalah Ibu Kota Jawa Timur," kata Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi di Surabaya, Rabu (10/11).
Baca Juga:
Anies Diminta Perhatikan Angka Pengangguran di Jakarta
Hal itu telah disampaikan kepada perwakilan dari Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB) saat pembahasan upah minimum kota (UMK) di Kota Surabaya pada 2022.
Eri menyampaikan, ketika membahas soal UMK harus dengan cara berdiskusi bersama. Hal itu perlu dilakukan supaya aspirasi dari SP/SB dan masyarakat Surabaya bisa tersampaikan dengan baik.
Ia menyampaikan, ke depannya tidak hanya mengandalkan UMK agar kebutuhan hidup yang diinginkan warga Surabaya terwujud. Ketika pandemi COVID-19 mulai melandai, Pemkot Surabaya akan menggandeng investor yang bakal menguntungkan para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

"Siapa UMKM ini? Yaitu, dari teman-teman SP/SB ini. Ketika si suaminya kerja dan dirasa kurang penghasilannya, istrinya akan kami latih UMKM. Sehingga akan terwujud UMK satu keluarga yang tadinya Rp4,3 juta per bulan menjadi Rp7 juta per bulan," katanya.
Ketua SPSI Jatim Ahmad Fauzi mengaku pihaknya akan terus berkomunikasi dengan anggota SPSI Jatim untuk memanfaatkan ruang diskusi yang akan dilakukan ke depannya. Harapannya, dari diskusi itu nantinya bisa mewujudkan keinginan para anggotanya.
"Rencana demo besar-besaran terkait UMK tidak akan terjadi. Saya yakin Ibu Gubernur, Pak Wali Kota, Pak Kapolrestabes adalah pemimpin yang komunikatif. Saya harap ke depannya ada solusi dan diambil jalan tengahnya, maka dari itu Jatim harus tetap kondusif," katanya dikutip Antara. (*)
Baca Juga:
Tekan Angka Pengangguran, Pemkot Surabaya Luncurkan Aplikasi Pencari Kerja