MerahPutih.com - Belakangan mencuat isu Pilpres 2024 hanya diikuti dua bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Namun, wacana itu rupanya memicu polemik di kalangan elite politik.
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid salah satu yang mengkritisinya.
Baca Juga:
Kaesang Ungkap akan Terjun Dulu ke Masyarakat Sebelum Umumkan Capres Pilihan PSI
Ia mengingatkan ketentuan UUD NRI 1945, terutama Pasal 6A ayat (4), yang lebih akomodatif terhadap adanya lebih dari dua pasangan calon dalam pemilihan presiden (pilpres).
Hal itu, imbuh Hidayat, sejatinya dihadirkan untuk merawat demokrasi konstitusional di Indonesia.
Termasuk menghindarkan pembelahan dan polarisasi di kalangan masyarakat akibat pemilihan presiden secara langsung dengan hanya dua kandidat saja.
Ia berujar, masyarakat perlu untuk ditampilkan lebih dari dua opsi dalam pemilihan presiden/wakil presiden saat Pilpres 2024 nanti.
Jadi, apabila ada pihak yang memaksakan kehendak agar Pilpres 2024 diarahkan hanya diikuti oleh dua pasangan calon, selain tidak menghormati hak rakyat untuk mendapat alternatif pilihan pemimpin yang terbaik, juga bisa dinilai sebagai tidak merawat prinsip demokrasi konstitusional.
"Bahkan juga bisa dinilai sebagai ingin melanjutkan polarisasi dan pembelahan yang ditolak oleh mayoritas warga bangsa Indonesia, yang terjadi akibat pilpres hanya diikuti oleh dua kandidat saja,” ujarnya di Jakarta, Selasa (26/9).
HNW sapaan akrabnya, mengaku mendengar adanya sebagian pihak yang berusaha mendengungkan kembali Pilpres 2024 ini akan diikuti oleh hanya dua pasangan calon dengan berbagai dalihnya.
Salah satunya adalah bahwa dengan adanya dua pasangan calon, maka pilpres bisa berbiaya lebih murah, karena bisa dilangsungkan hanya satu putaran.
Namun, secara tegas, HNW membantah argumentasi yang tidak berdasar ini.
Karena di era Reformasi ini pun, Indonesia pernah dua kali menyelenggarakan Pemilihan Presiden yaitu pada tahun 2004 dan 2009, yang diikuti oleh lebih dari tiga pasang.
“Demokrasi memang perlu ongkos, tapi kalau yang diinginkan adalah biaya termurah, maka kembali saja pada pola pilpres pada zaman Orba, di mana presiden dipilih oleh MPR. Hal yang tentu mereka tolak juga,” ujar politikus PKS ini.
Baca Juga:
Heru Budi akan Tegakkan Aturan ASN Dilarang Menyukai, Berkomentar dan Mengikuti Medsos Capres
Karenanya, menurut HNW, justru biayanya lebih besar untuk memperbaiki keterbelahan masyarakat akibat adanya polarisasi terkait Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 yang hanya menyediakan dua pasangan calon.
“Kita masih merasakan keresahan masyarakat yang terbelah karena Pilpres 2014 dan 2019 yang hanya menyediakan dua pasangan calon saja. Bahkan, polarisasi itu masih terasa hingga saat ini," papar dia.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menjelaskan, peta perkoalisian partai-partai politik saat ini sebenarnya juga sudah mengarah kepada bisa hadirnya tiga pasangan calon.
Ketiganya yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Prabowo Subianto yang diusung oleh Partai Gerindra, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) serta Partai Demokrat, juga Ganjar Pranowo yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Tinggal menunggu keberanian dari dua bacapres Ganjar dan Prabowo untuk segera mendeklarasikan pasangan cawapresnya,” ujarnya. (Knu)
Baca Juga:
Baintelkam Polri Terbitkan SKCK Bacapres Anies Baswedan