Wisata Indonesia

Vihara Dharma Rakhita, Kayunya Berasal dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa

P Suryo RP Suryo R - Rabu, 18 Desember 2019
Vihara Dharma Rakhita, Kayunya Berasal dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Kayu-kayu yang digunakan untuk klenteng ini kayu yang sama yang dipakai pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa. (Foto: MP/Mauritz)

KLENTENG Jamblang atau Vihara Dharma Rakhita ini, merupakan salah satu bangunan tua yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah ibadah ini terletak di kawasan Jamblang, Kabupaten Cirebon, berada di antara kawasan Pecinan yang cukup tua di wilayah Cirebon.

Konon klenteng ini dibangun sekitar tahun 1500-an sama dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada di dekat Alun-Alun Keraton Kesepuhan Cirebon. Hal tersebut tidak terlepas dari kisah sejarah yang melatarbelakangi pembangunan klenteng ini. Dan uniknya, bagian atap dari klenteng ini merupakan salah satu dari bagian Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Keraton Kesepuhan Cirebon.

Baca Juga:

Kera Jelmaan Santri Munafik di Cirebon

cirebon
Klenteng Jamblang jadi bagian sejarah Cirebon. (Foto: MP/Mauritz)

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat menceritakan, ketika Masjid Agung Sang Cipta Rasa sedang dibangun sekitar tahun 1480 M, ada komunitas Tionghoa dari wilayah Jamblang, yang ingin membangun sebuah klenteng. Mereka pun meminta sisa kayu jati yang digunakan untuk membangun tiang masjid, untuk kemudian dijadikan bahan membuat klenteng.

Pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa sendiri dipimpin oleh Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Setelah mengetahui maksud kedatangan orang-orang Tionghoa tersebut, akhirnya Sunan Gunung Jati mengizinkan untuk meminta kayu.

"Sunan Gunung Jati yang pada waktu itu memimpin Kesultanan Cirebon, mengizinkan agar komunitas Tionghoa itu meminta kayu," jelas Sultan.

Baca Juga:

4 Tempat Wisata Religi di Cirebon

cirebon
Toleransi tinggi sudah ada sejak dahulu di Cirebon. (Foto: MP/Mauritz)


Sultan melanjutkan, kayu tersebut kemudian dibawa oleh komunitas Tionghoa tersebut ke Jamblang, dengan menggunakan pedati. Kayu tersebut pun digunakan sebagai 'wuwungan', yang dalam Bahasa Jawa artinya atap. Kini, atap yang berasal dari kayu Masjid Agung Sang Cipta Rasa tersebut masih tetap dipertahankan keasliannya.

Konon katanya, Sultan menambahkan, kayu tersebut sempat mengeluarkan air, seolah seperti menangis. Kemungkinan, hal tersebut dikarenakan kayu itu sedang bersedih karena tidak dijadikan untuk masjid, melainkan untuk klenteng.

Meskipun begitu, lanjut Sultan, dengan adanya kisah sejarah tersebut, merupakan bukti bahwa masyarakat Cirebon sudah menjunjung tinggi toleransi sejak zaman dahulu kala. Hal itulah yang membuat budaya Cirebon ini unik, dengan segala macam akulturasinya.

"Cirebon sudah menjunjung tinggi nilai toleransi, dari dulu hingga sekarang," pungkasnya. (*)

Baca Juga:

4 Tempat Bersejarah di Kota Cirebon Ini Sangat Instagramable

Tulisan dari Mauritz kontributor merahputih.com untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya.

#Cirebon #Kota Cirebon #Wisata Cirebon #Kasepuhan Cirebon #Wali Kota Cirebon
Bagikan
Bagikan