MerahPutih.com- Bareskrim Mabes Polri bakal memperbanyak direktorat di kesatuannya.
Langkah ini dilakukan setelah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan menjadi Undang-Undang.
Baca Juga:
Setelah UU TPKS Disahkan, Kini Aturan Turunan Harus Segera Dibuat Pemerintah
"Kami mempercepat usulan Direktorat PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) di tingkat Bareskrim dan ditindaklanjuti juga sampai dengan tingkat Polda dan Polres," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo saat dihubungi wartawan, Rabu (13/4).
Dedi menyebut pembentukan direktorat tersebut nantinya akan dibahas oleh sejumlah instansi terkait.
"Sudah disiapkan ajuan atau usulannya. Karena akan dibahas bersama Kemenpan, Kumham, Setneg dan lain-lain," terang mantan Kapolda Kalimantan Tengah ini.
Dedi menilai pengesahan Undang-undang tersebut dapat menjadi pondasi bagi penyidik kepolisian untuk menindak pelaku tindak pidana kekerasan seksual.
Selain itu, dia menilai Undang-Undang itu juga dinilai dapat mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual.
Adanya UU TPKS diharapkan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat menjerat siapa saja yang terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dan lain-lain.
"UU tersebut guna dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan yang terpenting dapat memitigasi maksimal kekerasan seksual terhadap korban," ucap Dedi.
Diketahui, pengesahan RUU TPKS telah menjadi penantian panjang bagi publik.
Setidaknya dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun, sejak tahun 2012 ketika Komnas Perempuan pertama kali menggagas RUU TPKS, yang awalnya berjudul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), hingga RUU ini akhirnya disahkan.
Dalam kurun waktu tersebut, RUU ini sempat keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas sebelum akhirnya disahkan pada tahun ini.
RUU ini pertama kali masuk Prolegnas Prioritas tahun 2016.
Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya mengatakan, disahkannya RUU TPKS merupakan buah dari komitmen politik DPR dan pemerintah serta partisipasi masyarakat luas.
Baca Juga:
UU TPKS Dinilai Sebagai Langkah Maju Lindungi Korban Kekerasan Seksual
Berikut poin penting yang diatur dalam UU TPKS.
1. Setiap perilaku pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan seksualDalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan non fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual non fisik.
Hukuman yang diberikan kepada pelaku yakni pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta.
2. Melindungi korban revenge pornPada Pasal 4 ayat 1 UU TPKS, disebutkan ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kotrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi.
Selain itu juga pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Untuk kekerasan seksual berbasik elektronik ini termasuk revenge porn atau penyebaran konten pornografi dengan modus balas dendam kepada korban.
Dengan adanya UU TPKS ini, korban revenge porn dilindungi oleh hukum.
3. Pemaksaan hubungan seksual bisa dikenai denda dan pidanaPada Pasal 6, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bisa dipidana karena pemaksaan sterilisasi dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau denda Rp 200 juta.
4. Pemaksaan perkawinan bisa dipidana.
Kemudian, UU ini juga mengatur ketentuan perihal jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan, termasuk di dalamnya pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan.
Ketentuan pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan tertuang di dalam Pasal 10 UU TPKS.
Pada Pasal 10 Ayat (1) UU TPKS dijelaskan, setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan.
Pelaku bisa terancam pidana paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
5. Korporasi yang melakukan TPKS bisa dikenai pidana dan denda
Dalam Pasal 13, dijelaskan, pihak korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenai denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp 2 miliar.
Selain itu, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
- Pembayaran Restitusi
- Pembiayaan pelatihan kerja
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari TPKS
- Pencabutan izin tertentu
- penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korperasi
- Pembubaran korporasi
6. Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sudah cukup
Dalam Pasal 20, disebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan 1 alat bukti yang sah sudah dapat menentukan seseorang menjadi terdakwa.
Alat bukti yang sah dalam pembuktian TPKS yakni:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa
- Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
8. Korban TPKS berhak mendapatkan pendampingan
Dalam UU TPKS Pasal 27 sampai Pasal 29, korban atau setiap orang yang mengetahui atau menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada kepolisian, UPTD PPAD, atau lembaga penyedia layanan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Nantinya, UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan korban serta membuat laporan kepada kepolisian.
9. Tidak ada restorative justicePenyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan bisa menggunakan pendekatan restorative justice.
Pendekatan restorative justice sendiri merupakan penyelesaian suatu perkara dengan menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban. (Knu)
Baca Juga:
UU TPKS Disahkan, Puan Dapat Apresiasi Tinggi dari Elemen Perempuan