Usia 71 Tahun, PBB Justru Tak Tegas Menegakkan Perdamaian

Zulfikar SyZulfikar Sy - Senin, 24 Oktober 2016
Usia 71 Tahun, PBB Justru Tak Tegas Menegakkan Perdamaian
Konvoi kendaraan PBB yang membawa bantuan di Suriah terhambat. (UN Photo by Ocha-Syria)

Keamanan dunia sebenarnya terancam oleh pertikaian dan krisis yang masih terjadi.

Perang di Yaman antara pemerintah Yaman dengan pemberontak Houthi misalnya.
Pemerintah Yaman didukung oleh koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi. Sedangkan pemberontak Houthi didukung Iran.

Begitu juga perang terbuka yang terjadi di wilayah Suriah. Pemerintah Bashar Al Ashad mengklaim berusaha menumpas kelompok pemberontak di negerinya dibantu oleh Rusia dan Iran serta Irak.

Sementara Arab Saudi bersama sekutunya juga menghajar kelompok syiah, yang berusaha menguasai Suriah. Amerika Serikat juga turun menjadikan negeri syam sebagai percobaan senjata-senjata barunya.

Belum lagi perang saudara di Somalia dan Rwanda serta krisis nuklir di Korea Utara.

Perserikatan Bangsa-Bangsa berusaha keras meredakan pertikaian yang terjadi, namun kelemahan utamanya terletak di Dewan Keamanan, di mana suara bulat dari kelima anggota tetapnya (AS, Rusia, Inggris, Perancis dan China) diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional.

Negara-negara dengan kekuatan besar itu tidak selalu memiliki pandangan yang sama akan sebuah isu yang penting.

Bahkan seringnya penggunaan hak veto, justru mengakibatkan deadlock dan menghalangi dewan keamanan untuk menegakkan perdamaian.

Apalagi PBB tidak memiliki pasukan bersenjata yang permanen. Hanya pihak Dewan Keamanan yang berhak mengimbau anggotanya untuk memasok pasukan di saat krisis muncul.

Di usianya yang ke 71 tahun, PBB justru nampak rapuh. Ada yang menyebutnya PBB hanyalah kaki tangan Amerika.

PBB tidak bisa berfungsi sebagai mediator jika kedua pihak yang bertikai menolak pendekatan PBB. Dewan Sosial dan Ekonomi (ECOSOS), Dewan Perwalian dan Mahkamah Hukum Internasional tidak memiliki kekuatan untuk mendorong keputusan itu.

Sejumlah anggota bahkan bisa menolak untuk mendanai operasi penjaga perdamaian PBB, jika menurut mereka operasi tersebut jika mereka merasa operasi tersebut melampaui batas kepentingan mereka. Dan hal itu bisa membuat PBB menderita kekurangan dana.

Namun negara-negara anggota tidak memiliki kapasitas untuk menjatuhkan sanksi hukuman kepada mereka yang menghambat upaya penegakkan perdamaian.

Kritik juga dilontarkan atas ketidakmampuan PBB, untuk ikut campur urusan dalam negeri satu negara. Tak heran meski berteriak-teriak kencang tentang penegakkan HAM, nyatanya PBB tidak bisa secara efektif mengusut pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintahan anggota dewan keamanan.

Contohnya, pemerintah China yang melakukan pelanggaran HAM bahkan pembantaian 4 Juni 1989, tetap tak terpengaruh oleh kecaman masyarakat internasional.
Juga selama beberapa tahun, pemerintah minoritas kulit putih di Afrika Selatan tak tergeser atas kritik PBB yang menemukan bukti bahwa mereka melakukan tindak apartheid.

Banyak hal yang masih belum bisa dilakukan PBB terkait perdamaian dunia.

Peran PBB sebagai organisasi penjaga perdamaian dunia, hingga saat ini masih sebatas simbol.

Karena ketidakpercayaan terhadap PBB, terutama setelah Malaysia ditetapkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada Januari 1965, Presiden Soekarno menetapkan bahwa Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Pernyataan itu disampaikan perwakilan Indonesia di PBB, kepada Sekjen saat itu U Thant. (dsyamil)

BACA JUGA

PBB Dorong Era Keberlanjutan Pada Peringatan HUTnya.

 

 

 

#PBB
Bagikan
Ditulis Oleh

Zulfikar Sy

Tukang sihir
Bagikan