Upaya Jokowi Revisi UU ITE Perlu Dibuktikan dengan Bebaskan Para Tersangka

Zulfikar SyZulfikar Sy - Rabu, 17 Februari 2021
Upaya Jokowi Revisi UU ITE Perlu Dibuktikan dengan Bebaskan Para Tersangka
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid (Foto: MP/Ponco Sulaksono)

MerahPutih.com - Presiden Joko Widodo meminta Polri untuk meningkatkan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan UU ITE dapat berjalan secara konsisten, akuntabel, dan berkeadilan.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, harus diakui bahwa pasal-pasal karet di dalam UU ITE mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat.

Amnesty International menyambut baik pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus memberi rasa keadilan kepada masyarakat.

Baca Juga:

DPR Minta Rencana Pemerintah Revisi UU ITE Tak Sekadar Harapan Palsu

“Ini tidak boleh menjadi sekadar jargon" kata Usman dalam keterangannya yang dikutip, Rabu (14/2).

Menurut Usman, langkah pertama yang harus dilakukan presiden untuk menindaklanjuti pernyataannya sendiri.

"Yakni dengan membebaskan mereka yang dikriminalisasi dengan UU ITE hanya karena mengekspresikan pandangannya secara damai,” kata Usman Hamid.

Ia menuturkan, pemerintah wajib menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk mereka yang memiliki pandangan bertentangan dengan pemerintah.

Tangkapan layar Presiden RI Joko Widodo saat meresmikan secara langsung beroperasinya Bendungan Tukul di Pacitan, Jawa Timur, Minggu. (Antara/Rangga Pandu Asmara Jingga)
Tangkapan layar Presiden RI Joko Widodo saat meresmikan secara langsung beroperasinya Bendungan Tukul di Pacitan, Jawa Timur, Minggu. (Antara/Rangga Pandu Asmara Jingga)

Yang juga tak kalah penting, pemerintah juga harus menyadari bahwa perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak berhenti sampai di revisi UU ITE.

Ada pasal dalam undang-undang lain yang juga sering digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi. Misalnya pasal makar dalam KUHP untuk menjerat saudara kita di Papua yang mengekspresikan pandangan mereka secara damai.

"Menjamin keadilan di tengah masyarakat harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak diskriminatif,” kata Usman.

Di sisi lain, polisi juga harus menggunakan perspektif hak asasi manusia dalam menegakkan hukum agar tidak melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Sepanjang 2020, Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE. Dengan total 141 tersangka, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.

Jumlah kasus tersebut adalah jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir.

Baca Juga:

Kapolri Pastikan Pelaporan Kasus UU ITE Tak Boleh Diwakili

Banyak di antaranya dituduh melanggar UU ITE setelah menyatakan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Seperti tiga pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat, Anton Permana dan Syahganda Nainggolan yang saat ini sedang menjalani persidangan.

Amnesty mengingatkan bahwa hak seluruh masyarakat atas kebebasan berekspresi dan berpendapat telah dijamin dalam pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum No 34 atas pasal 19 ICCPR.

"Sedangkan dalam hukum nasional, hak tersebut telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, tepatnya pada pasal 28E ayat (3) dan pasal 28F UUD 1945, serta pasal 23 ayat (2) UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia," tutup Usman. (Knu)

Baca Juga:

Politikus PDIP Tegaskan tidak Ada Pasal Karet di UU ITE

#Amnesty Internasional #UU ITE
Bagikan
Bagikan