Ulasan How Democracy Die, Buku Viral Unggahan Anies Baswedan
KELOPAK mata Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, hampir menutup menyisakan sedikit pandangan ke arah bawah buku bersampul hitam. Tangan kanannya menggenggam erat, sementara tangan kiri bergelang jam tangan pintar menompang bagian alas buku sehingga judulnya mudah terbaca, How Democracies Die.
Baca juga: Kakak Kandung Jaksa Agung Minta Pemerintah tak Ragu Bubarkan FPI
Foto Anies berkemeja putih lengan pendek berteman sarung sedang membaca buku diunggahnya pukul 12.23, (12/11), tersebut kontan ramai dibicarakan publik. Tak kata-kata sarat politik pada unggahanya. Hanya ucapan selamat berakhir pekan. "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi," cicit akun @aniesbaswedan.
Buku diterbitkan ulang ke dalam bahasa Indonesia menjadi Bagaimana Demokrasi Mati karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, Profesor Ilmu Politik pada Universitas Harvard tersebut merupakan buku populer di Amerika.
Levitsky dan Ziblatt berusaha memberikan cermin sejarah masa lalu cara para diktator paling ternama, semisal Benito Mussolini, Adolf Hitler, "Kerjasama Iblis" atau melakukan perjanjiaan saat mereka masih merintis dengan para elit agar bisa mencapai puncak kekuasan.
Kedua penulis berusaha memberikan cermin tersebut kepada masyarakat Amerika sebagai alat bantu melihat kebijakan Trump. Saat cermin digunakan di awal, Levitsky dan Ziblatt lantas menghidangkan pemandangan begitu dalam tentang sayatan-sayatan pembelah hingga demokrasi tak lagi bernyawa.
Keengganan berkomitmen dengan aturan main demokrasi menjadi catatan penting di buku tersebut, seperti keinginan mengingkari peraturan perundang-undangan dengan melarang masyarakat berorganisasi, membatasi hak-hak sipil berpolitik, menggambarkan lawan politik berperilaku subversif, melihat kontra politiknya sebagai kriminal, dan semua arena politik diubah menjadi arena persidangan.
Lebih lanjut, kedua penulis juga menangkap empat masalah penting lunturnya demokrasi; rejection democratic rules of game, denial of the legitimacy of political opponents, toleration and encouregment of violence, dan readiness to curtail civil liberties of opponents.
Keempat hal tersebut menjadi pegangan penting bagi pembaca mengidentifikasi tak sebatas pemimpin namun juga seluruh masyarakat di negara demokrasi mendeteksi bahaya.
Baca juga: Pencopotan Baliho Rizieq Shihab oleh TNI Jadi Tamparan Keras Bagi Pemprov DKI
Segala bentuk sayatan terhadap demokrasi tersebut, menurut penulis sengaja diciptakan agar banyak orang tak lagi percaya terhadap demokrasi.
Buku setebal 231 halaman tersebut, memang secara implisit ditujukan bagi kebijakan politik Amerika, namun sangat potensial dijadikan cermin bagi setiap masyakarat penerap demokrasi di seluruh dunia. (*)
Baca juga: Satgas COVID-19 Akui Kesulitan Tracing Massa di Petamburan dan Megamendung